#14

1K 153 16
                                        

Pertengahan Juni, 2005.

Memang ya, menunggu itu benar-benar melelahkan apalagi jika menunggu di barengi dengan rasa takut.

Hari ini Angkasa baru saja menjalankan operasi ke empatnya selama beberapa bulan ini. Dia sudah lebih baik, meskipun belum benar-benar sadar dari tidurnya. Angkasa sudah bisa memberi respon yang baik dan menunjukan kemajuan yang signifikan. Itu sedikit membuatku dan keluarganya lega.

Kami semua sedang menunggu Angkasa sadar karena ini adalah operasi terkhir yang akan dia jalani.

"Dis.. Kamu pulang dulu sayang, dari kemarin kamu gak pulang. Istirahat dulu aja dirumah bunda sama kak Arin ya?" Bunda merangkul pundakku yang kian hari kian mengecil.

Begitupula dengan ruas jari jemari yang menyelimutiku dengan kehangatan ini. Kian mengurus dan rapuh.

Bunda pasti jauh lebih tersiksa daripada aku, saat melihat kondisi Angkasa yang seperti ini, meskipun bunda lebih memperlihatkan sisi kuatnya dihadapan banyak orang, tapi aku tahu bunda kerap kali menangis saat sendirian dan menatap nanar putra semata wayangnya itu.

"Iya bunda, bentar lagi ya? Aku mau lihat Angkasa dulu.." Kataku dengan suara yang benar-benar lemah.

Ah.. Memang sejak tertidurnya Angkasa dengan waktu yang panjang ini, aku kehilangan banyak sekali warna dan energi didalam hidupku.

Memang sebesar itu pengaruhnya untukku.

"Iya sayang.. tapi habis ini langsung pulang ya? Kak Arin lagi di kantin beliin bunda makanan." Aku menganggukkan kepalaku.

"Enggak sekarang ya bunda.. Gladys masih mau sama Angkasa.."

Bunda hanya menghela nafasnya, dia pasti kesal padaku saat ini. Kalau Angkasa tahu, dia sudah pasti marah karena tidak mau mendengarkan nasihat orang lain yang bertujuan baik untuk diriku sendiri.

"Bunda mending susul kak Arin, abis itu aku pulang.." kataku pada akhirnya.

Bunda menganggukkan kepalanya pertanda dia setuju untuk bergabung dengan kak Arin makan dikafetaria. Lalu bunda keluar dari ruangan dan menyisakan aku berdua dengan lelakiku.

"Sayang.. Angkasa, mau tau gak? Hari ini Tama nawarin diri untuk nganter aku ke sini, tapi aku tolak..

Soalnya aku tau kamu pasti marah banget, kamu cemburu gitu sama Tama kenapa sih? Padahal aku gak ada rasa apa-apa tau sama dia.. Aku cuma sayang sama kamu, Ka.." Lalu aku kembali menangis. Menundukkan kepalaku dan menggenggam tangan Angkasa dengan sangat erat.

"Sayang, bangun yuk? Aku capek.. Bunda capek.. Melati juga capek.. Capek sama ketidakpastian tentang kamu.. Kamu cuma boleh mastiin kamu baik-baik aja kalo kamu gak mau lihat aku dan perempuan-perempuan kesayangan kamu yang lain hancur. Aku, Bunda, Kak Arin dan Alhena pasti hancur kalo kamu.. kalo kamu.."

Aku tidak bisa melanjutkan perkataanku karena tenggorokanku rasanya tercekat dan tertahan batu yang menyesakkan.

Sampai kapan aku harus serapuh ini, kenapa aku tidak bisa menjadi Gladys yang tegar seperti biasanya? Kenapa..

"Angkasa, kamu taukan seberapa besar rasa sayang aku sama kamu? Kamu udah gak sayang ya Ka sama aku?"

Aku terus bermonolog hingga seluruh tubuhku terasa lemas.. sampai aku tidak menyadari pergerakan dari tangan Angkasa yang aku genggam.

Untuk sepersekian detik aku berhenti bernafas dan kehilangan fokusku karena aku melihat Angkasa menggerakan tangannya dengan lemah untuk menghapus air mata yang terus mengalir bahkan semakin deras dipipiku.

Angkasa membuka matanya.

"Sayang, Purnamanya Angkasa.. stop crying.. come, i will hug you." Katanya dengan suara lemah.

Dia, Angkasa✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang