Penghujung bulan Maret..
Cobaan untukku dan Angkasa.Pernah dengar tidak bahwa mereka yang sedang diperjalanan menuju ke pelaminan selalu mengalami banyak kendala untuk menguji kekuatan cinta dan kesabaran satu sama lain? Kalau aku pernah. Dan sekarang kebetulan sempat mengalaminya dengan Angkasa.
Hari itu, aku dan Angkasa bertengkar hebat karena Angkasa cemburu pada adik tingkatku yang entah mengapa meskipun sudah tahu aku memiliki Angkasa tapi tetap saja berusaha mendekati dan mengambil perhatianku.
Namanya Kavhia Havis Rizki
Satu tingkat dibawahku. Dia merupakan seorang aktivis kampus yang lumayan terkenal, kebetulan Khavia, --begitu dia sering disapa-- memiliki banyak kesempatan bertemu denganku karena aku tengah mendalami sebuah kasus untuk tugas akhirku. Meskipun dia berada satu tingkat dibawahku dia memiliki banyak informasi dan pengalaman yang mumpuni.
Sedikit banyak aku sering mengandalkan Khavia untuk masuk ke instansi yang aku butuhkan. Dan hanya sebatas itu karena kalian pasti tahu seberapa banyak aku menyayangi Angkasa.
Tapi begitulah, Angkasa dan rasa cemburunya yang meledak-ledak. Dia marah besar saat mendapati aku berduaan dengan Khavia diselasar kampus, memang posisinya sedikit berdekatan tapi aku berani bersumpah kami hanya duduk dan berdiskusi sambil berbagi laptop karena saat itu laptopku kehabisan daya, tapi Angkasa marah sampai kami hampir berpisah.
Sungguh, itu adalah kemarahan Angkasa yang sangat menyeramkan sepanjang aku mengenal dia.
"Lo tolol atau apasih hah? Lo udah taukan Gladis tunangan gue? Masih kurang jelas cincin yang ada dijari manisnya buat lo?" Angkasa datang dengan wajah super dingin dan urat-urat dilehernya menonjol. Wajahnya pun merah padam.
Sedangkan aku, panik dan diselasar ini sudah minim orang-orang yang berlalu lalang.
"Angkasa... Ini gak kaya yang kamu pikirin Ka.." Kataku dengan tubuh yang gemetar karena takut pada Angkasa.
Angkasa menoleh untuk sepersekian detik padaku saat itu, tapi dia kembali memfokuskan pandangannya yang tajam pada Khavia.
"Sorry bang, lo gak berhak membatasi pergaulan kak Gladis, dunia dia bukan cuma disekitaran lo doang." Ujarnya dengan sangat tenang.
Aku mebelalakan mataku saat itu, tidak, aku tidak berharap Khavia menjawab demikian. Karena Angkasa memang duniaku.
"Khavia! Kamu gak berhak ngomong begitu." Dengan keberanian yang tinggal sedikit aku memberanikan diri untuk bersuara.
"Kak Gladis, lo gak usah takut biar pacar lo ini tau dia gak perlu membatasi lo lagi."
Dan apa yang aku takutkan terjadi, Angkasa yang lepas kendali dan memukul rahang Khavia dengan keras.
"Anjing lo! Jangan so tau anak kecil! Lo cari mati hah?" Dan satu pukulan lagi Angka layangkan diwajah Khavia dengan suara retakan tulang yang terdengar jelas.
Aku menjerit panik. "Angkasa udah..."
Angkasa masih diliputi kemarahannya, "Sekali lagi lo ada disekitar tunangan gue, mati lo!"
Angkasa menghempaskan Khavia begitu saja, pukulan yang Angkasa berikan memang tidak sampai membuat dia pingsan atau tak berdaya, tapi cukup membuat wajah Khavia ngilu dan kaku, aku yakin.
Setelah memberi beberapa pukulan diwajah Khavia, Angkasa menyeretku untuk ikut dengannya keparkiran. cengkraman tangannya tidak begitu kencang hingga membuatku kesakitan, namun karena aku masih merasa shock dan takut seluruh tubuhku bergetar tak terkecuali tanganku yang tengah digenggam oleh Angkasa.
Aku yakin Angkasa menyadari hal itu, namun ia berusaha acuh dan memasukkanku kedalam mobilnya dengan wajah yang masih keras dan dingin.
Angkasaku sangat murka.
"Kamu udah taukan Dis, aku benci kamu deket-deket sama mereka yang udah jelas naro perasaan sama kamu. Tapi kamu tetep ngeyel. Mau kamu itu apa sih?" Katanya dengan suara yang bergetar seperti sedang menahan gumpalan rasa sakit ditenggorokkannya.
Aku bahkan terus menundukkan kepala, dengan genangan air mata yang siap tumpah kapan saja. Suaraku bahkan tak bisa aku keluarkan, padahal banyak sekali yang ingin aku katakan padanya.
"Kamu gak ngerti. Kamu gak tau rasanya jadi aku, ketakutan yang aku hadapi setiap kali denger ada yang secara terang-terangan rebut kamu dari aku. Gladis aku gak bisa."
Dan airmataku luruh saat itu, luruh bersamaan dengan luruhnya airmata Angkasa dan bersamaan dengan hujan yang turun dengan derasnya diluar sana.
"Kamu gak nyaman aku begini? Apa yang dibilang bocah ingusan itu bener?"
Aku masih tidak bersuara, sesak sekali rasanya mendengar suara parau yang keluar dari bibirnya. Aku menoleh, mendapati Angkasa menyembunyikan tangisnya diantara lengan kekar yang biasanya memelukku.
"Angka.." Kataku pada akhirnya.
Angkasa bergeming. Enggan melihat kearahku.
"Maaf, aku gak maksud kaya gitu.. aku.. aku cuma butuh informasi dari Khavia, gak lebih. Kamu tau seberapa besar rasa sayang aku sama kamu. Tapi kalo emang aku udah nyakitin kamu sejauh ini..
Aku terima kalau kamu mau kita sampe sini aja." Kataku sembari menahan sesak.