Tentang senyuman, Angkasa.
18 Januari 2005Senyum itu selalu menenangkan, melegakan dan menimbulkan rasa aman. Sudah berapa lama ya aku tidak melihat senyumnya? Dua hari? Tiga? Atau seminggu?
Ah.. Ternyata baru satu hari.
Tapi mengapa begitu terasa lama? Karena aku sudah terlalu candu pada senyum seorang Angkasa.
Dia bukan laki - laki yang memiliki wajah kaku dan dingin karena kebanggaannya akan kedudukan yang dia miliki atau ketampanan yang mumpuni. Angkasa bukan tipikal orang seperti itu, meskipun orang - orang tidak akan keberatan karena apa yang dia sombongkan memang benar adanya.
Angkasa adalah seseorang dengan senyum yang hangat dan mata yang selalu berbinar. Kecerdasan yang bernilai dan ketulusan yang menjanjikan.
Hari itu Angkasa dan aku tentu saja, bergabung dengan tim penyelamat hewan karena kami memang ikut berbagai kegiatan amal dan penyelamatan. Mengapa? Karena kita mau. Mau untuk peduli pada sekitar.
Dan Angkasa yang mengajarkanku akan semua ini. Akan sebuah kepedulian pada sesama makhluk hidup.
"Kamu tunggu dideket gerbang ya dis? Aku ambil mobil dulu kedalem. Kalo kamu ikut nanti capek." Katanya siang itu, saat matahari sedang terik - teriknya.
Kami baru selesai menyelamatkan seekor kucing yang dilaporkan oleh salah satu warga dengan kondisi yang sangat memperihatinkan. Matanya terkena tumor dan mengharuskan dia menjalani operasi besar.
Aku memutuskan untuk menunggu dibawah pohon rindang dekat gerbang kantor kedinasan menunggu Angkasa.
Tidak sampai delapan menit, mobil kesayangan pria itu muncul dan dia keluar dari bangku kemudi lalu menghampiriku.
Sambil tersenyum dia mengulurkan tangannya, "yuk. Nanti keburu sore."
Lalu aku mengangguk menerima uluran tangannya. Dia memutari mobil dan membukakan pintu untukku, memastikan aku benar - benar duduk dengan aman.
Bagian paling mendebarkan jika aku ikut dalam mobilnya adalah saat dia juga memasangkan seatbelt dan jarak kami menjadi sangat dekat. Seperti saat ini.
Aroma mint dan lemon menguar saat dia menunduk untuk memasangkan sabuk pengaman ditubuhku. Jika aku tidak waras rasanya ingin sekali membawanya kedalam pelukan dan menenggelamkan diri didalan kungkungan kokoh lengannya.
"mau makan dulu apa langsung ketemu ibu?" Tanya Angkasa saat dia sudah memasang seatbelt ditubuhnya sendiri.
"Langsung ketemu ibu aja ya, pasti dia udah nunggu.."
Dia mengusap pelan rambutku, "yaudah kalo gitu, kita mampir dulu ke supermarket. Aku butuh beberapa barang."
"Let's gooo.."
Sepanjang perjalanan, Angkasa banyak menceritakan tentang panti jompo yang dia bangun baru - baru ini didaerah Jatinangor. Dan dia sangat bahagia. Menularkan rasa yang sama padaku sebagai pendengarnya.
"Bandung tuh sebenernya udah sempurna. Menurut aku. Tapi gimana ya? Masih ada aja beberapa hal yang belum teratasi dengan memuaskan." Katanya.
"Kenapa kamu lebih mencintai bandung ketimbang Surabaya sebagai kota kelahiran kamu?"
Dia kelihatan berpikir, tapi sedetik kemudian dia menjawab dengan lugas. "Bandung banyak ngajarin aku tentang keindahan, Bandung juga mempertemukan aku dengan passionku. Bandung ngasih aku harapan untuk tetap menjadi diriku sendiri.." Dia menggantungkan kata katanya diakhir.
Lalu dia melanjutkan kalimatnya, dan membuat darahku berdersir dengan hangat siang itu. "Dan Bandung membuat aku menemukan kamu, Gladis. The main reason why i love Bandung so much."
Senyum Angkasa, siang itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia, Angkasa✅
DiversosCatatan sederhana tentang hari - hariku, bersama Angkasa.