Note:
*Devushka: nama panggilan untuk perempuan muda. Dalam bahasa Inggris, memiliki arti yang sama dengan kata "Miss".--------------------------------------
Maret, 2006Ruangan itu serba berwarna gelap dan temaram dengan perabot-perabot murah yang terbuat dari kayu. Sumber cahaya di dalamnya berasal dari nyala lilin yang berpendar di antara bayang-bayang. Melalui pantulan cermin retak di samping lemari, Alena dapat melihat sesosok wanita tinggi berseragam kedokteran dan membawa koper praktis di satu tangan. Rambut cokelat berantakan itu, sepasang mata lebar yang menatap balik padanya, mengingatkannya akan masa-masa sewaktu ia kecil dulu. Ia pun menyadari bahwa wanita di cermin itu adalah dirinya, tepat setelah memicingkan mata dan berusaha untuk melihat menembus kegelapan.
Ia beranjak saat telinganya menangkap suara-suara riuh di luar, lalu membuka pintu. Bahkan ia sudah tahu saat menuruni tangga serambi depan bahwa ada yang salah. Di sekelilingnya juga bertebaran bau api yang tebal di udara, dan bau tajam—bau uranium. Ia menjadi kalut, lalu terpincang-pincang menyusuri jalan raya yang panjang. Jalan itu berwarna putih di bawah cahaya bulan, seperti sungai keperakan yang membimbingnya kepada... reruntuhan.
Reaktor itu telah menjadi abu, lapisan demi lapisan ayakan putih, bertebaran di halaman yang ditiup angin malam. Hanya fondasinya yang masih bisa dilihat, seperti tulang terbakar. Ada rangka besi rontok di sini, cerobong yang miring di sana. Tapi material atap reaktor, mesin-mesin pengolah bahan mentah uranium dan peti-peti kemas yang disimpan di gudang, semuanya menjadi abu yang tertiup melewati wajah rembulan. Ledakan telah menghancurkan reaktor itu dengan semburan api.
Alena berjalan ke salah satu reaktor yang masih berdiri. Ia menemukan Ivankov sedang berlutut di samping seseorang yang mungkin adalah teman kerjanya. Semuanya menghitam karena api. Ivankov, sama seperti wanita itu, tidak lari mengikuti kerumunan warga. Bahkan meskipun sirene pertanda ledakan berdengung-dengung memecah suasana malam.
Alena menunduk semakin ke bawah dan melihat apa yang sedang Ivankov lihat. Ada sesosok mayat, pucat, nyaris tanpa bentuk. Mantel lebar dan sarung tangan masih melekat di tubuh mayat itu, tapi hawa panas telah melelehkan separuh kulit wajahnya yang sama sekali tidak Alena kenali.
Jantung Alena meloncat dengan keras. Ia megap-megap, berbalik, hendak mencari-cari mayat lainnya. Tapi kemudian pergelangan tangannya ditahan oleh genggaman erat. Ia mencoba menariknya, lalu menyadari siapa yang menahannya. "Ivan?"
"Lena." Sekarang, Ivankov menatapnya lewat lekuk mata yang bergaris tegas. Dia tampak kusut dan masih setengah linglung. Rambutnya kotor oleh debu dan abu sisa lelehan besi. "Buka matamu."
Alena menyipitkan mata padanya. "Apa?"
Genggaman Ivankov semakin erat. Alena dapat merasakan suara Ivankov bercampur dengan suara-suara panik di dalam kepalanya. Rasanya seperti air yang mengalir turun mengisi rongga-rongga kosong jauh di benaknya. "Ini bukan tempatmu," dia berucap lirih. "Bangun. Bangunlah."
*****
Alena membelalak di atas tempat tidur. Napasnya memburu, dan rambutnya menempel ke leher dengan keringat dingin. Ia butuh waktu sejenak untuk mengumpulkan kembali napasnya—menyadari bahwa tadi itu cuma mimpi.
Alena mengangkat tubuhnya dan duduk di tepi ranjang. Ia melirik ke sekitar. Ia berada di kamar tidur kecil yang berperabotan kayu pelitur. Sesaat kemudian ia tahu bahwa bukan mimpi buruklah yang membangunkannya, melainkan bunyi ketukan pintu.
Pintu diketuk berkali-kali, cukup keras. Ketukannya agak berhati-hati, dan ragu, dan sebuah suara wanita menembus pintu itu dari luar kamar. "Devushka," kata suara itu. "Devushka, Anda sudah bangun?"
KAMU SEDANG MEMBACA
the Origins of Nature (On Progress)
Science FictionRasa bersalah semakin menggunung kala merenung di tempat dengan pemandangan hijau yang hampa. Dari balik jendela, hanya ada hamparan hutan hambar yang terasa tidak penting. Di atas, cakrawala berlapis tak lagi terasa indah. Terpaksa kuteruskan perja...