02. HAN DAN SOFIA

291 24 2
                                    

Note:
*Lomonosov: nama sebuah universitas negeri terkemuka di Moscow. Lengkapnya, Moskovskyj Gosudarstvennyj Universiteit imeni Lomonosova (biasa disingkat MGU) atau Universitas Negeri Moscow M.V. Lomonosov

-----------------------------------

Keluar dari wilayah Moscow seperti mendaki turun ke bawah gua yang panas dan lembab. Udara basah menekan kota, mengubah atmosfer menjadi kepulan kabut yang kotor.

Alena tinggal di pinggir sungai kecil yang berbatasan langsung dengan Ukraina. Tidak banyak yang bisa ditemukan di sini selain gudang-gudang pertanian yang kebanyakan terlantar, ladang jagung, dan pohon-pohon rindang. Percik-percik hujan yang berjatuhan langsung lenyap menjadi rintik embun. Mata Alena membuka menembus hangatnya sinar matahari sore.

Perlahan-lahan, jalanan kembali terfokus. Tampaklah pohon ek berbaris di kiri-kanan, pagar kayu yang berpendar suram, tanah hitam yang becek dan penuh lubang. Alena sedang berkendara menuju salah satu kamp militer di ujung kota, tempat para perwira senior bermarkas. Ia sudah membuat keputusannya. Ia menjadi sadar akan rasa takut yang mencegahnya pergi, lalu membuang jauh-jauh perasaan itu pada malam ia menelepon ibunya.

Tidak peduli seberapa berbahaya tugasnya kali ini, ia tetap memutuskan pergi.

Di kejauhan, sebuah bangunan kecil berwarna putih mulai tampak. Atapnya berbentuk lingkaran. Bangunan itu memanjang dari arah bibir sungai dan rendah ke tanah seperti tenda. Sekelilingnya dipagari beton setinggi dua meter dengan puncaknya yang berupa jalinan kawat berduri.

Alena menoleh ke samping. Ada papan tanda "DILARANG MASUK" di tepi jalan, tapi mobil Alena lancar-lancar saja melewatinya seolah papan itu tidak pernah ada di sana. Alena menatap ke depan lagi, membiarkan pandangannya lebih kendur, sehingga sinar matahari tidak menyilaukan mata.

Sekarang bangunan itu tampak menjulang. Alena berhenti di pos depan, hanya untuk menyambut kedatangan dua orang penjaga yang menatap siaga padanya. Tanpa basa-basi, ia menunjukkan kartu nama dan menunggu sampai kedua orang itu mengangguk, melenggang pergi dan membukakan gerbang untuknya.

Di samping barisan truk-truk pengangkut yang kosong, Alena memarkir mobilnya. Ada lagi yang menghampirinya. Kali ini, seorang wanita pirang berseragam loreng dan bersepatu bot. Satu tangannya diperban. Bibirnya pucat dan pecah-pecah. Mungkin ia sedang sakit, tapi Alena tidak punya alasan mempertanyakan hal itu.

"Mari ikut. Saya antar ke ruangan Sir Arthur," kata wanita itu. Ia memegang mantel bulu di tangannya yang bersarung tangan. Hari ini, udara memang dingin. Alena memperkirakan salju akan turun sebelum tengah malam. Ia sudah siap seandainya ia harus terjebak salju dalam perjalanannya menuju laboratorium nanti.

Ketika Alena masih saja berdiri mematung, wanita itu menyergap lengannya dan setengah mendorongnya masuk ke pintu bangunan. Alena tidak menolak sama sekali saat dirinya dituntun menaiki satu per satu anak tangga dan memasuki ruang tunggu yang sama sekali asing baginya.

Alena sudah berjalan duluan sebelum pintu ditutup di belakang mereka. Ia telah masuk ke dalam sebuah ruangan kecil dengan penerangan seadanya. Udaranya dingin dan lembap saat terhirup. Dinding-dinding beton di kedua sisi tampak mulus dan berpendar di dalam cahaya lampu. Ada barisan foto beserta nama-nama yang dipajang di dinding itu, misalnya Nikolai, Avinskii, dan Lubov. Semuanya ditandai oleh silang merah besar. Butuh sejenak bagi Alena untuk menyadari bahwa itu adalah foto-foto prajurit yang telah gugur. Di mana mereka? Apakah telah dikubur, atau masih hilang di antara puluhan mayat lainnya yang menjadi korban perang? Apakah mereka mati sia-sia, atau mati sebagai seorang pahlawan negara?

Alena jadi lupa untuk melihat lorong di depannya. Ketika ia bertubrukan dengan sesuatu yang lembek dan kasar, ia nyaris kehilangan napas karena kaget.

the Origins of Nature (On Progress)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang