Note:
*La merde: Sial
*Oui. Merci: Ya. Terima kasih
*Agréable. Bonne chance!: Bagus. Semoga berhasil!-------------------------------------
Mereka menapak dengan santai melintasi koridor, lalu naik tangga ke lantai dua. Lynn tak henti berbicara. Wanita itu sudah membuka seluruh kancing jas. Rambutnya dibiarkan tergerai menjadi sulur emas yang halus dan licin. Di usianya yang menjelang lima puluh, Lynn terbilang cantik dan awet muda. Hampir tak tampak keriput dan bahkan matanya masih memancarkan aura cemerlang.
"Jadi, kau belum cari calon suami?" Lynn bertanya. Tidak ada sindiran di suaranya, hanya rasa ingin tahu.
"Belum." Alena berupaya tersenyum agar tak dikira grogi. "Kenapa kau tanyakan itu?"
Lynn memperhatikan sweter polkadot dan celana kain yang dipakai Alena. Ia seperti sedang mengulas apakah penampilannya cukup menarik atau tidak. "Ada alasannya," ujar Lynn. "Orang-orang seperti kita—orang-orang yang terlampau rajin belajar dan sibuk dengan dunia sendiri—rentan mengalami nasib jomblo seumur hidup."
"Aku tidak berpikir soal mencari pasangan atau membangun biduk rumah tangga," kata Alena lugas, yang secara teknis memang benar. Saat mengatakannya, tingkat kejengahan Alena naik sekitar seratus persen, tapi ia merasa tidak perlu terang-terangan menunjukkannya. "Bagaimana denganmu? Kau tidak kunjung menikah."
Lynn menggeleng. "Sebagai kepala ilmuwan lab, aku tidak pernah diberi batas yang longgar dalam menikmati kehidupan pribadi. Minimal sebulan sekali, aku pasti ditugaskan ke luar negeri—berdiplomasi ke berbagai fasilitas riset global. Urusanku dengan CERN saja belum usai. Itu, ah, sangat menyita waktu. Mana mungkin aku bisa merencanakan resepsi pernikahan. Kalau dipikir-pikir, aku juga tak bakal tega meninggalkan suami dan anak-anakku untuk urusan pekerjaan."
Alena tak kuasa mencegah tawa. "Kita akan mendapat masalah besar kalau terus-terusan begini."
Lynn cengar-cengir. Tidak seperti rambutnya, giginya kurang sempurna. Sayang sekali, gigi depannya sedikit terkikis. "Entah ke mana bahtera nasib membawa hati kita mengembara."
"Yah. Kita lihat saja nanti." Alena menggenggam sikunya. Koridor itu terasa dingin dan ia dapat merasakan bulu kuduknya mulai berdiri. "Omong-omong, kita mau ke mana?"
"Kau terlalu lambat menanyakannya, Lena. Seharusnya kau bertanya sejak tadi. Karena kita sudah mau sampai dan kau lihatlah sendiri."
"Ke kamar otopsi, ya?" Alena celingukan melihat pintu-pintu kaca di dinding. "Setahuku, mayat Joachim Krum masih disimpan."
"Euh." Lynn menghela napas dengan jijik. "Memangnya kau senang memasuki tempat di mana organ-organnya diawetkan?"
Alena menggeleng sungkan. Ia melirik Lynn. "Kau sedang menghindari kelompokmu? Kelihatannya rapat tadi berhasil membuatmu jengkel setengah mati."
Lynn mengibaskan sebelah tangannya. "Tidak semua orang bersikap sportif. Kyle, contohnya. Aku benci kakek pongah itu."
"Profesor Liu tampaknya baik." Alena berusaha membayangkan Liu sebagai satu-satunya rekan yang bisa diandalkan. Bayangan itu tidak gampang terbentuk. Tentunya karena ia tidak kenal Liu, dan mereka baru bertemu satu kali dalam sesi rapat sepanjang satu jam. "Maksudku, ia sangat teguh mendukung setiap keputusanmu. Kepribadiannya kuat dan tegas, tak mudah diruntuhkan argumen-argumen bernada pesimis."
Lynn memandanginya. "Kau sendiri? Apa kau pesimis dengan program ekspedisi ini?"
"Tergantung," jawab Alena setelah berpikir sebentar.
KAMU SEDANG MEMBACA
the Origins of Nature (On Progress)
Science FictionRasa bersalah semakin menggunung kala merenung di tempat dengan pemandangan hijau yang hampa. Dari balik jendela, hanya ada hamparan hutan hambar yang terasa tidak penting. Di atas, cakrawala berlapis tak lagi terasa indah. Terpaksa kuteruskan perja...