08. SERIGALA! LARI!

91 15 0
                                    

Greta menggeliat berdiri, kaget dan ngeri bercampur di wajahnya. Seembus napas parau lolos kala ia berbisik, "Kupikir kawanan serigala tidak berkeliaran di dalam kota...."

Alena celingukan. Ia melirik ke setiap sudut jalan, fokus. Meskipun sekarang ini ia bawa pistol, pasti tidak akan berguna. Tujuh peluru tidak dapat diandalkan untuk menumbangkan empat serigala sekaligus. Kalau ia gegabah, berbuat kegaduhan, akibatnya bisa celaka. Berdasarkan artikel yang ia baca, hutan Pripyat adalah sarang serigala—kemungkinan ada puluhan ekor, tersebar ke banyak lokasi. Mereka jarang masuk wilayah kota, kecuali jika kebetulan terpancing oleh kehadiran manusia.

Ini gawat. Kalau serigala berburu secara berkelompok, itu artinya pergerakan mereka sulit diprediksi. Juga lebih agresif. Normalnya satu kawanan terdiri atas lima sampai sebelas ekor. Serangan akan terjadi membabi-buta, terlebih jika mereka sangat kelaparan.

Jari-jari Greta erat mencengkeram lengan mantel Alena. "Apa yang harus kita lakukan?"

Serigala terbesar, yaitu monster belang dengan gigi seperti gigi hiu, mengendus selayaknya anjing. Menghirup aroma daging segar yang pantas dijadikan mangsa. Alena begidik. Sekejap tangannya menelusup saku mantel, menggenggam pucuk pistol, tapi urung menarik pelatuk. Ia gamang.

Selangkah, dua langkah, Alena mundur. Greta berlindung dengan protektif di sisinya. Sebagai isyarat, Alena mengangkat telunjuknya, menyuruh Greta tetap bungkam. Satu-satunya kesempatan adalah kabur, ketimbang bertempur tanpa rencana dan persiapan matang. Alena sama sekali tak berpikir tentang kejadian ini. Semua bermula di luar perhitungannya.

Selangkah, dua langkah. Mundur.... Alena terus membentangkan jarak, bermaksud ulur waktu. Dari tempat ia berpijak, serigala-serigala menggeram, memukul-mukul udara dengan cakar. Ketika serigala terbesar melontarkan lolongan pertama, Alena mulai paham maknanya—serigala itu hendak memanggil seluruh anggota kawanan.

"Lari," bisik Alena, gentar. "Ikut aku. Masuk ke apartemen. Ayo!"

Secepat kilat, Alena membimbing Greta kembali ke koridor, mendorongnya keras-keras. Hal paling berat untuk Greta lakukan adalah menjaga tubuhnya tetap seimbang sementara ia dipaksa lari dengan satu kaki lunglai. Telinga Alena dapat menangkap deru cakar mengais-ngais tanah, suara langkah serigala yang terdengar seperti debur ombak, dan lolongan senyaring sirene. Keduanya lantas meringsek masuk ke ruangan terdekat yang bisa mereka jangkau.

Tanpa diminta, Greta langsung menutup pintu dan memasang gerendel. Punggungnya terhempas ke lemari, bersandar letih. "Sial!" sembur wanita itu. "Bagaimana ini?"

Alena mengukuhkan segenap keberanian. Pikirannya berkelebat tak terarah, mencari-cari jalan keluar. Di balik pintu, sejumlah serigala melonglong bersahut-sahutan. Belum sempat Alena menyuarakan pikirannya, pintu itu dibanting oleh hantaman kasar dan keras. Kecepatan berpikir Alena mengambang sia-sia. Ia didera oleh frustasi dan kalut saat para serigala silih berganti menubruk pintu.

Greta menjerit kecil. "Astaga! Ya Tuhan!" Ia menyipit. Kedua lengannya menjepit pintu, berupaya menahan gaya tubruk yang kian keras.

Gerendel itu sudah rusak termakan usia, begitu pula engsel-engselnya. Dalam waktu dekat, menurut perkiraan Alena, keempat serigala akan menerobos pintu. Jujur, ia sangsi bahwa mereka adalah serigala normal. Tingkah mereka benar-benar macam monster haus darah dan kelaparan, yang rela mengejar siapa saja hingga terpojok. Gempuran di luar pintu semakin menjadi-jadi, intens, tak kunjung reda.

Alena menghunus matanya ke samping, lalu setitik gembira terbit di hatinya yang mendidih. Ada dua jendela kecil. Tirai satin melambai ditiup angin dan keping-keping kaca halus bersebaran di lantai. Alena menyeret Greta bersamanya, yang tidak tampak ingin protes sedikit pun. Kenapa tidak dari tadi terlintas olehnya untuk kabur lewat jendela?

the Origins of Nature (On Progress)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang