Sesampainya di rumah, Amara langsung membuka laptopnya dan membuka aplikasi rahasia yang biasa ia gunakan untuk mencocokkan wajah. Sebelumnya, Amara sudah mengirim gambar yang diambilnya tadi ke laptopnya. Beberapa saat menunggu hasilnya keluar juga.
"Amara, pinjem laptopnya dong." kata seorang cowok yang membuka pintu kamarnya tiba tiba. Amara langsung menatap adiknya datar, sedangkan yang ditatap hanya acuh saja, ia dengan santainya memasuki kamar Amara tanpa disuruh.
Ya, itu memang adiknya, tapi dengan santainya ia memanggil kakaknya dengan nama. Ah, itu sih sudah biasa. Lagian umur mereka juga cuma beda satu tahun saja, jika Amara saat ini kelas 12, adiknya itu berada di kelas 11, tapi mereka tidak berada di sekolah yang sama. Amara juga tidak keberatan dipanggil dengan nama, malahan ia akan merasa aneh jika adik menyebalkannya itu memanggilnya dengan sebutan kakak.
"Ambil aja di meja belajar." kata Amara. Jangan bingung, Amara punya dua laptop, satu untuk tugas sekokahnya dan satu lagi untuk keperluan misinya. "Laptop lo kemana emang."
"Laptop gue rusak, belom sempet di perbaikin." kata adik Amara yang sudah mengambil laptop Amara.
"Kenapa gak pake yang satunya aja." kata Amara yang mulai memandang laptopnya kembali.
"Gue tinggal di markas." jawab adik Amara. Dengan santainya cowok itu duduk di sebelah Amara. "Lihat apa sih."
"Kepo banget sih lo." kata Amara sebal, tapi ia tetap memperbolehkan adiknya itu melihat apa yang ditampilkan laptop Amara.
"Pandu Pratama. Lahir tanggal 18 April 1995. Pengangguran." adik Amara membaca apa yang tertera disana. "Eh ngapain lo nyari informasi pribadinya?"
"Gue pengen tau aja, soalnya dia udah nyelakain target gue. Siapa tau dia emang sengaja nyelakainnya." jelas Amara.
"Oh tentang misi lo. Yaudah kalau tentang misi sih gue gak mau ikut campur. Fighting Amara!." katanya yang kemudian keluar dari kamar Amara. Amara tak masalah jika misinya diketahui oleh adiknya, karena keluarga Amara sudah tau jika Amara adalah agen dan mereka menyetujuinya, lagian adik Amara juga seorang agen, jadi tidak masalah.
"Pandu Pratama. Lahir tanggal 18 April 1995. Pengangguran. Pemakai narkoba. Catatan kriminal, pernah masuk penjara karena mencuri, mencopet—" Amara terus melanjutkan membaca data diri cowok itu. "Gak ada catatan kekerasan, semuanya tentang pencurian. Hm, apa feeling gue bener kalau dia orang suruhan? Disini tertulis kalau dia pengangguran, bisa jadi kan dia disewa dengan bayaran mahal buat nyelakain Devan." gumam Amara dengan pelan. "Okelah itu bisa dipikirin nanti, sekarang gue udah tau gimana wajahnya jadi kalau sewaktu-waktu dia muncul lagi gue bisa ngenalin wajahnya."
Amara melihat jam yang terpajang di dindingnya. Pukul 18.15 "Gue harus ke rumah Salsa nih, dia pasti ketakutan di rumah sendiri." batin Amara. Cewek itu menutup laptopnya dan menyiapkan buku-buku pelajaran besok dan seragamnya, ia membawa itu semua ke rumah Salsa, agar besok ia bisa langsung berangkat.
★★★★
Amara melajukan motor matic-nya menyusuri jalanan malam. Jarak rumah Amara ke rumah Salsa tidak terlalu jauh, mungkin 20 menitan cukup untuk sampai di tempat tujuan. Jalanan rumah Salsa terasa sangat sepi, karena memang rumah Salsa berada di komplek perumahan yang penghuninya rata-rata orang kaya, jadi jarang ada orang yang berada di luar malam-malam begini, mereka pasti sibuk dengan aktivitas masing-masing atau mungkin mereka belum pulang ke rumah.
Kedua orangtua Salsa adalah pebisnis, jadi mereka jarang sekali berada di rumah. Biasanya Salsa di temani oleh seorang pembantu rumah tangga yang memang tidur di sana, tapi beberapa hari ini dia meminta cuti karena ibunya sedang sakit parah. Dan karena Salsa adalah orang yang penakut, ia tidak bisa di tinggal sendirian, walaupun itu di rumahnya sendiri. Jadi tak jarang Salsa meminta Amara untuk menginap.
"Lama banget Ra." kata Salsa saat ia membukakan pintu untuk Amara
"Sorry masih ada urusan." jawab Amara sekenanya. "Lo takut?"
"Gk terlalu, tadi gue ditemenin sama Gavin." mereka berdua menaiki tangga menuju kamar Salsa.
"Terus sekarang dimana?"
"Ditemenin lewat video call kok, hehe." Amara hanya ber'oh' ria. "Gavin sekarang lagi nongkrong sama Devan sih, jadi dia gak nemenin gue. Eh tapi tadi dia nawarin mau kesini, sama Devan juga, tapi gak jadi."
"Kenapa?" Amara meletakkan kopernya disebelah lemari Salsa. Ia sudah biasa nginep di rumah ini, jadi dia tidak sungkan lagi ingin berbuat apa.
"Ada lo." kata Salsa dengan polosnya, sedangkan Amara mengerutkan alisnya tak mengerti. "Devan tuh yang gak mau diajak kesini setelah tau lo nginep sini. Kalau gitu sih mending gue gak ngasih tau mereka kalau lo di sini."
Amara hanya mendengus mengetahui alasan mereka tidak jadi ke rumah Salsa.
"Ternyata cowok sialan itu yang rewel." batin Amara
"Lagian lo kenapa sih gak pernah akur sama Devan." Amara hanya mengangkat bahu tak peduli. "Padahal dulu kalian gak kayak gini deh."
"Dulu ya dulu, sekarang ya sekarang." kata Amara dengan melirik Salsa.
"Biasa aja dong buk matanya." kata Salsa dengan senyum usil.
"Lagian lo bahas masalah itu sih."
"Hahaha kan lucu Ra." seru Salsa, apalagi setelah melihat wajah Amara yang menandakan Amara tak suka, Salsa malah melanjutkan omongannya. "Dulu rasanya si Devan ngebet banget pengen deket sama lo, eh sekarang malah sinis banget ke lo. Lucu ya kalian berdua"
"Udahlah Sa, sebel gue nginget masalah itu." Amara beranjak dari kamar Salsa.
"Eh eh mau kemana Ra." kata Salsa yang buru buru mengejar Amara.
"Nonton TV. Males gue ngobrol sama lo."
"Iya iya maaf Ra, gak lagi deh." Salsa menggandeng lengaan Amara dan mengiringinya ke ruang keluarga untuk menonton TV.
Dengan santainya Amara duduk di sofa dan menyalakan televisi.
"Gak ada camilan nih?"
"Adaa. Tenang aja gue udah nyiapin cemilan yang banyak buat sahabat gue yang satu ini." Salsa mencubit pipi Amara yang sedikit chubby itu kemudian ia buru-buru berlari ke dapur menghindari cercaan Amara. Karena Amara paling tidak suka pipinya yang chubby itu dicubit orang.
Melihat kelakuan sahabatnya yang kadang menyebalkan itu ia hanya mendengus sebal. Beberapa saat kemudian Salsa kembali dengan membawa berbagai macam camilan. Lebih tepatnya ia membawa setoples cookies, setoples permen coklat, beberapa snack yang tadi sengaja ia beli, dan dua botol minuman rasa jeruk.
"Sesajen gue lengkap noh, jangan ditekuk gitu mukanya." Salsa kembali menghempaskan tubuhnya di sebelah Amara.
"Siapa juga yang mukanya ditekuk." Amara dengan cueknya mengambil toples berisi permen coklat dan memakannya seorang diri. "Nyokap lo kapan pulangnya?"
"Gak tau, tadi katanya pulang telat, mungkin tengah malam nanti."
"Huh untung aja gue temen yang baik, kalo enggak, gue gak mau disuruh nemenin lo yang penakut setiap ditinggal dirumah sendiri."
"Lo kan sahabat terbaik gue Ra, hehe." Salsa memeluk Amara dengan erat.
"Ish gausah peluk-peluk, risih gue." Amara mendorong tubuh Salsa menjauh.
"Pelit lo!" seru Salsa yang mencebikkan bibirnya sebal. Tapi sayangnya ia tidak mendapat respon apa apa dari Amara, temannya itu malah asik menonton TV.
"Lo gak asik ah, mending gue nyuruh Gavin kesini, sekalian sama Devan."
Amara langsung menoleh kearah Salsa. "Awas lo kalau nyuruh Devan kesini. Eneg gue ngeliat muka setan satu itu." ancam Amara dengan tatapan tajamnya.
"Huft iya deh iyaa, untung gue sahabat yang baik." Salsa menyimpan HP nya kembali.
"Eh lo bilang Gavin lagi nongkrong sama Devan. Dimana?"
"Tuh tuh, katanya eneg tapi kok nanyain gitu."
"Tinggal jawab aja ribet sih."
"Uh iyaa, gausah marah dong" kata Salsa. "Biasalah Ra yang namanya cowok, gak jauh-jauh dari nongkrong sambil ngopi-ngopi." Amara hanya mengangguk-angguk menanggapi jawaban Salsa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Agent Fall In Love (TERBIT)
Ficção Adolescente[MAAF, BEBERAPA PART SUDAH DIHAPUS] [SEGERA OPEN PO KE-2] Amara Felicia Alexandria. Perempuan. Kelas XII. Sebenarnya Amara sama seperti perempuan seusianya yang lain. Kecuali sifat cuek dan fakta jika dia adalah seorang agen rahasia. Walau masih dud...