Part 8

28.2K 1.4K 30
                                    

Sesampainya di rumah, Amara lekas membersihkan dirinya dan mengambil laptopnya. Ia ingin membongkar isi HP Devan. Yah, mungkin ini melanggar privasi, tapi mau bagaimana lagi? Ini juga termasuk dalam pekerjaannya.

Setelah mengobrak abrik isi HP Devan, Amara tidak mendapat apa-apa. Dia sudah melihat pesan Devan, log panggilan juga sudah, tapi tidak ada yang mencurigakan. Satu-satunya hal yang mencurigakan hanya nomor tidak dikenal yang menelpon Devan waktu itu. Dan Amara sudah melacak nomor itu, tapi sekarang nomornya sudah tidak aktif.

Memang, aplikasi buatan Amara ini punya banyak kekurangan. Ini hanya bisa dibuat melihat pesan dan log panggilan saja, tidak bisa dibuat melihat yang lain. Wajar, Amara belum lama belajar membuat aplikasi seperti ini. Ada sih teman Amara yang jago banget buat aplikasi peretas, cuma Amara segan saja ingin meminta bantuannya.

"Huuft, capek," gumam Amara, ia menghempaskan badannya ke kasur. Ia memejamkan mata, merelakskan pikirannya.

"Sebenernya siapa sih rekan bisnis papa Devan, sampe bisa ngelakuin hal segila ini," gumamnya. "Apa gue nanya ke pimpinan aja ya?"

Beberapa saat kemudian Amara beranjak dari kasurnya. Ia mengeluarkan buku pelajarannya dan belajar selama kurang kebih satu dua jam.

Jam menunjukan pukul 20.40 Amara mulai lelah belajar. Dan cacing-cacing di perut Amara sudah pada demo, jadi Amara memutuskan menyudahi belajarnya dan berjalan ke dapur.

Sesampainya di dapur ia langsung mengambil nasi beserta lauk dan duduk di meja makan sendirian.

"Eh kak, tumben baru makan?" kata mama Amara yang tiba di dapur. "Biasanya jam 18.30 udah ada di dapur."

"Iya ma, tadi sibuk," jawab Amara.

"Misi lagi?" Amara hanya mengangguk, karena mulutnya penuh dengan nasi. "Udah belajar belom kamu?"

"Udah kok ma, ini baru aja selesai."

"Yaudah, kamu lanjutin makannya ya, mama mau nonton TV dulu," kata mama Amara yang sekarang membawa minuman di tangannya.

Amara melanjutkan makannya dengan hening. Tapi kepalanya tidak bisa berhenti berfikir. Tentang pelajarannya, cara menjaga Devan, sampai rekan bisnis papanya Devan. Beberapa saat kemudian ia menelan suapan terakhirnya. Setelahnya, Amara menyempatkan mencuci piring bekas makannya.

Amara berjalan ke ruang keluarga, ia melihat mamanya sedang menonton TV sendirian.

"Sendirian aja ma," kata Amara yang duduk di samping mamanya.

"Ya mau gimana, papa kamu belum pulang, kamu tadi masih makan, sedangkan adik kamu sibuk sendiri."

"Kemana dia?"

"Ada di ruang latihan."

"Malem-malem gini?" mama Amara hanya mengangguk. "Aku samperin dia dulu ya ma."

Amara beranjak dari sofa, ia menuju ruang latihan. Ya, di rumah Amara disediakan ruang latihan sendiri. Kata papanya, kalau mau latihan gak perlu susah cari tempat lagi, karena sudah ada ruangan khususnya.

Amara membuka pintu, dan terlihat sang adik yang yang sedang melatih tinjunya. Ia meninju-ninju samsak yang tergantung di pinggir ruangan. Amara masuk, ia duduk di sofa yang ada di sana.

"Jam segini tuh belajar, bukan malah mukulin samsak."

Adik Amara yang mendengar suara kakaknya pun menghentikan kegiatannya dan menoleh kearah Amara. "Ini juga belajar loh Ra, belajar memperkuat tinju gue. Biar gue bisa lindungin lo, hehe."

"Gue bisa lindungin diri sendiri ya," kata Amara. "Lagian, lo selalu kalah ngelawan gue."

"Ya makanya gue belajar lah, biar gak kalah tanding sama lo lagi." Adik Amara itu sudah berdiri di samping Amara dan menegak air mineral. "Lagian jatuh harga diri gue kalau gue kalah sama cewek cuek kayak lo."

Amara hanya mendengus mendengar perkataan adiknya itu.

"Mau tanding sama gue?"

"Males, udah malem," jawab Amara.

"Ah lo takut kalah ya lawan gue," goda adiknya itu.

Amara mendengus lagi, "Kalau lo mau tanding, ok siapa takut, besok tapi."

"Bilang aja sih kalau takut."

"Gue cuma gak mau badan gue lengket gara-gara keringat dan gue harus mandi malam-malam gini," kata Amara. "Udah, belajar sana lo." Setelah berkata seperti itu Amara beranjak dari duduknya dan bersiap untuk tidur.

★★★★

Pagi hari ini kelas Amara terlihat ricuh. Biasanya tepat setelah bel masuk berbunyi, Bu Lia sudah berada di kelas, tapi kali ini dia belum datang juga.

"Tumben Bu Lia belum dateng," kata Salsa yang tidak direspon oleh Amara. Amara yang duduk di pojok dekat tembok dengan cueknya menyenderkan punggungnya ke tembok dan memainkan HP nya, tanpa menanggapi Salsa.

"Eh ketua kelas, Bu Lia nggak dateng ya?" tanya salah seorang anak perempuan ke ketua kelas.

"Gak tau gue. Tapi kayaknya dateng deh, soalnya dia gak ngasih tugas apa-apa ke gue," jawab si ketua kelas.

"Yaudah sih kalau Bu Lia gak datang, syukuri aja lah," saut Devan. Yang kemudian terdengar sautan-sautan dari yang lainnya juga. Kemudian mereka kembali larut dalam obrolan masing-masing, sedangkan anak yang cukup rajin memilih membuka buku pelajaran dan membacanya.

"Selamat pagi anak-anak." Kedatangan Bu Lia yang tiba-tiba membuat semua kalang kabut. Mereka langsung menuju tempat duduknya masing masing dan menjawab sapaan Bu Lia. "Maaf hari ini ibu sedikit telat, tadi masih ada urusan," kata Bu Lia yang meminta maaf, padahal jika Bu Lia tidak datang pun anak-anak tidak mempermasalahkan, malahan mereka akan senang.

"Hari ini kalian akan kedatangan teman baru." Satu kalimat dari Bu Lia itu kembali membuat anak-anak riuh yang berdampak Bu Lia harus menyuruh mereka tenang. Kemudian Bu Lia mengintruksikan seseorang masuk, sepertinya anak baru itu sudah berada di luar dari tadi, menunggu intruksi Bu Lia. "Silahkan perkenalkan diri kamu dulu."

"Kenalin, nama gue Galang Fahrazi. Gue pindahan dari Malang," kata anak baru itu. Dia cowok. Dandanannya cukup rapi dengan rambut yang disisir rapi juga. Dengan wajah yang cukup tampan.

"Selama satu tahun ini Galang akan menjadi keluarga baru bagi kita. Ibu harap kalian bisa berteman akrab ya," kata Bu Lia yang mendapat balasan serentak dari anak muridnya. Bu Lia mengedarkan pandangan ke seluruh kelas. "Dinda, bangku di sebelah kamu itu tidak ada yang menempati?"

"Tidak ada bu."

"Baik, Galang kamu bisa duduk disebelah Dinda." Galang mengangguk dan berjalan kearah Dinda. Sebenarnya bangku itu milik Lala, tapi sudah seminggu yang lalu dia pindah dari sekolah ini, jadinya bangku itu sekarang kosong.

"Kenalin, gue Galang," kata Galang memperkenalkan diri kepada Dinda, Salsa, dan Amara, yang dibalas balasan ramah dari mereka, kecuali Amara, ia hanya menatap Galang datar. "Jutek amat lo," kata Galang dengan nada main-main.

"Amara emang kayak gitu, jangan diambil hati ya," kata Salsa. Galang hanya tersenyum miring menatap Amara. Entahlah, sejak pertama melihat Galang, Amara sudah tidak suka. Ada sesuatu yang mengganjal tentang Galang, tapi Amara tidak tau apa itu.

Secret Agent Fall In Love (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang