47. Musyawarah Besar

286K 39.2K 12K
                                    


Penghujung kepengurusan benar-benar sudah ada di depan mata. Hanya perlu hitungan hari atau bahkan jam hingga mereka benar-benar dapat melepaskan jabatan dan tanggung jawab sebagai pengurus himpunan.

Musyawarah besar dijanjikan untuk dilaksanakan pada hari Sabtu pukul 9 pagi, namun Naya sudah hadir dari pukul 8. Ia duduk di bangku anggota, melihat kedepan—ke tempatnya.

Ia dan teman-teman pimpinannya akan duduk disana, diperhatikan oleh banyak pandang mata, mempertanggung jawabkan apa yang telah mereka rencanakan dan lakukan selama satu periode ke belakang.


Belum ada yang datang kecuali panitia dari musyawarah besar.

Naya menundukan kepalanya, menggenggam tangannya sendiri, berusaha meluruhkan rasa cemasnya. Terlalu banyak yang berputar di otak Naya, tentang kemungkinan-kemungkinan akan penyerangan dan bahasa-bahasa yang tidak enak di dengar oleh telinga, serta mungkin sedikit pukulan dari masa lalu.


Setahun lalu, Naya juga berdiri di depan sana, bersama para seniornya. Berlindung dibalik tubuh kak Yara yang merupakan kadepnya, Naya mencoba memaparkan semua laporan dengan baik dan menjawab semua pertanyaan dengan baik pula, meskipun saat itu suaranya bergetar cukup hebat.

Namun kenyataan tidak berjalan sesuai rencana. Ia dan Yara mendapatkan banyak penyerangan hingga harus berdiri selama kurang lebih dua jam di depan sana. Pertanyaan yang tidak mereka antisipasi dan juga pernyataan yang malah terus dibalikan dan menyudutkan serta omongan-omongan yang disampaikan dengan urat nada emosi membuat Naya merasa takut untuk kembali berdiri disana, apalagi kali ini dengan posisi yang lebih tinggi.


Namun kali ini Naya tidak boleh lemah, karena banyak yang berdiri dibalik punggungnya. Banyak yang harus ia lindungi. Jika ia tidak kuat, bagaimana caranya dia melindungi?

Kursi disampingnya bergerak, menandakan ada orang yang duduk. Naya menegakan kepalanya, melihat orang yang duduk di kursi tersebut.

Doyoung, dengan wajah serius duduk disana; diam tanpa menyapa.

Naya kembali menunduk, kembali mencoba mencari ketenangan diri.


"Kenapa?" tanya Doyoung. "Gue ngga nerima jawaban gapapa." tambahnya lagi sebelum Naya menjawab.

"Takut." hanya satu kata yang keluar dari mulut Naya.

"Apa yang ditakutin?"

"Gue takut ngga bisa jagain anak-anak."

Doyoung menyandarkan tubuhnya di bangku. "Bisa." ujarnya. "Kan lo ngga ngejagain sendiri, ada gue. Di depan lo masih ada gue. Jangan takut."


Naya masih diam. Tentu saja dia paham beban terberat tetap ada di pundak Doyoung sebagai kepala. Namun tetap saja, kecemasan itu belum hilang dari kepala Naya.

"Hari ini bakal lancar kan?" Naya bertanya, bukan mencari jawaban; tapi ketenangan.

Doyoung mengangguk. "Lancar kok. Percaya sama gue."

"Gue takut. Takut ada yang ngebentak.." Naya kembali mengungkapkan ketakutannya. Naya mungkin terlihat kuat dan berani, namun ia juga masih sering merasa tersakiti dengan bentakan.


"Gue takut dibilang ngga bener ngurusin hima... gue takut dimarahin..." Naya masih berbicara sambil menunduk.

"Gue marahin balik orang yang berani marahin lo!" ucap Doyoung percaya diri, padahal Naya juga tahu Doyoung ngga akan seenaknya marah di dalam forum.

Doyoung menarik tangan Naya dan mengusap punggung tangannya pelan. "Kita mulai bareng, kita selesaiin bareng juga Nay. Garis finish-nya udah keliatan. Kita jalan terus, saling bantu, saling menopang. Lo ngga sendiri, kalo lo takut pegang tangan gue." ujarnya sambil mengangkat tangan mereka yang bertautan ke depan wajah Naya.

HIMPUNANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang