1

217 13 2
                                    

Biasanya yang namanya persahabatan itu kental dengan kedekatan satu sama lain. Orang tua juga ikut kenal dengan sikap bahkan tingkah laku sahabat kita, baik dalam hal kunjungan bahkan ucapan.

Emak sudah mewanti-wanti, boleh aja temenan sama cowok, jangan terlalu dekat. Duh mak, yang namanya Ahda Pian Mauza ini temannya rata-rata cewek alias perempuan. Yang laki-laki cuman teman sekedarnya. Bahkan si Ahda sudah jadi teman curhat para perempuan angkatan Zana. Dari yang sudah punya buntut, suami, gandengan bahkan jomblo sekalipun. Tapi dia lebih dekat ke Zana. Zana bahkan lupa kapan ia dan si Ahda dekat seperti ini. Bahkan si Zana saja garuk-garuk kepala yang tertutup hijab itu ketika ditanya perihal kedekatan mereka.

Bahkan lebih memanyunkan bibir si Zana, semua pacar si Ahda itu rata-rata SKSD dengannya. Motifnya hanya satu, pengen tau Ahda itu seperti apa kepribadiannya.

Aku aja baru ketemu pas kuliah kok.

Jawaban terbaik dari Zana.
"Ahda itu baik, pengertian, dijamin kamu aman aja sama dia"

Itu bentuk pembelaan untuk si Ahda, yang notabene punya banyak cewek incaran. Adik tingkat bahkan kalangan pelajar SMA dan SMP. Meskipun banyak ucapanku itu dibumbui sedikit kebohongan, toh ceweknya si Ahda percaya saja.

Kami berdua itu, aku dan Ahda, sahabat rasa keluarga. Mana ada laki-laki yang mau repot-repot mengantar kesana kemari tidak jelas perempuan cerewet macam si Zana. Apalagi kegiatan si Zana super sibuk, tapi nilainya aman sentosa.

"Otak kamu terlalu encer Zan, sampai nilai seaman gitu, mending bantuin aku ngerjain tugas mata kuliah Statistik."

Zana tertawa, "mau bayar berapa buat aku ngajarin kamu Da?"

"Apa aja." Ahda menyanggupi.

Jujur saja, Zana tanpa dibayar bakalan bantu si lelaki yang duduk di depannya kini sambil makan rawon dengan limpahan kuah kecap manis.

Ahda memandang perempuan sederhana penuh keceriaan didepannya itu. Dia terlalu serius dengan angka-angka, pensil, kertas-kertas penuh dengan coretan koreksi perhitungan. Zana paling tidak suka dengan kalkulator. Otaknya yang ia andalkan.

"Kalau kamu suka pakai kalkulator, ujian semester nanti jangan salahkan otakmu lelet berhitung."

Ahda mendengus. Lagi-lagi ia kena ceramah bu Ustadzah didepannya itu. Ahda melirik spidol warna warni yang tersusun rapi dalam wadahnya. Perempuan dihadapannya itu sekalipun luar biasa dalam memenuhi kebutuhan kuliahnya.

Perempuan itu tidak main-main dalam urusan kuliah. Nilai merosot satu angka saja sudah riuh dan uring-uringan. Ahda jadi sasarannya. Zana bilang, bahwa gara-gara sering menemani si Ahda ketemuan sama ceweknya, nilai Zana jadi menurun.

Ahda jelas tidak terima dituduh seperti itu. Yang pacaran siapa, yang jadi nilainya turun siapa.

"Makanya, kalo cari cewek itu yg setara sama kita, bukan dedek-dedek abu-biru. Aku ikutan capek Da. Kamu ngerti kan?"

Zana emosi sambil menunjuk-nunjuk wajah Ahda dalam radius tiga meter.

"Enjeh ratu." Ahda menyatukan tangannya di di depan dada sambil berupaya serius, nyatanya dia tetap pada pendirian.

"Bagus prajurit. Nanti sore antarin aku ke minimarket. Nggak usah apel dulu. Jadi ojek online pribadi ratu dulu."

Zana beranjak pergi dari kantin.

"Kalian berdua kenapa?" Mbak Wiwin penasaran dengan parodi diantara dua orang sahabat itu.

"Biasa, nilainya turun satu angka saja sudah riuh mbak." Ahda menyeruput teh botol.

DESIRETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang