5

62 10 0
                                    

Beberapa minggu berlalu di Malaysia. Zana tetap rutin berobat. Sembari di selingi pengerjaan tugas kuliah yang ia dapatkan dari informasinya dari teman-teman kuliahnya di Indonesia. Ia izin minta pindah ke apartemen Zaidan, namun di tolak oleh orang tua Zaidan.

"Disini kamu bisa pakai fasilitas yang ada. Laptop, wifi dan alat cetak. Kertas juga." Ayahnya Zaidan tersenyum ke Zana di siang itu.

Sungguh Zana tak mampu berkata banyak bahkan memohon lagi. Cukup patuh.

Zaidan menelpon dihari itu, memastikan bahwa Zana sudah rutin berobat. "Aku mintain papa nanti buat datangin dokternya ya mbak Zana kalau capek bolak-balik ke rumah sakit."

Jelas saja Zana menolak. Ia masih sanggup bolak-balik, lagipula ia masih sanggup berjalan dari area parkir rumah sakit ke ruangan dokter spesialis yang berjumlah 3 ruangan itu. "Sudahlah Dan, mbak ini masih sanggup. Ini juga syukur banget udah di kasih keringanan berobat. Mama aja udah minta pulang ke Indonesia, disini dia bisa kram sendi-sendinya karena nggak kerja sama sekali. Apa-apa tuh asisten rumah tangga kalian yang kerjain."

Zaidan tergelak. Terpingkal-pingkal. "Siapa suruh berurusan sama Zaidan."

Zana memutar matanya malas. Yang sakit siapa, yang menyerempet siapa. "Mbak tutup telpon ya. Ada tugas kampus. Assalamu'alaikum."

"Tunggu mbak" semangat empat lima ia menghentikan Zana.

"Apa?" Zana mengambil flashdisk dalam tas kecil lalu menghubungkan ke laptop.

"Udah ketemu kakak aku?" Zaidan terkekeh.

"Kakakmu yang mana?" Zana mulai mengetik dan me'loudspeaker panggilan Zaidan.

"Itu tuh yang ada gambarnya di ruangan tamu, foto keluarga yang ngalahin papan reklame." Zaidan tanpa jeda berbicara.

Zana tertawa kencang. Ampun dah si Zaidan semangat sekali. "Mbak nggak perhatiin."

Zaidan marah. "Hello mbak e, aku terhina. Wajahku yang imut rupawan itu tak dilirik sama sekali. Huh."

Lagi-lagi Zana tertawa keras.

"Sekarang mbak Zana keluar deh. Pergi ke ruang tamu, lalu periksa masih ada nggak gambar keluarga Zaidan disana." Nada suara Zaidan memerintah.

"Eh kamu berani sama yang tua ya." Sindir Zana.

Zaidan terkekeh. "Bukan begitu sih. Cuman supaya mbak Zana harus tau, siapa tau kakak ku yang ganteng nan rupawan itu tiba-tiba berkunjung. Kan mbak Zana nggak malu tuh kalau udah tau. Segera mbak Zana. Sekarang. Assalamu'alaikum."

Zana menatap layar ponselnya yang kembali ke tampilan walpaper. Meletakkan kembali kacamata radiasinya ke meja. 'Nggak usah deh keluar liatin gambar itu.'

Nada dering mengalun, kali ini panggilan video call via whatsapp. Tidak lain pelakunya si Zaidan, anak pak perdana menteri. Zana menggeser tanda terima panggilan. Dan terpampang lah wajah berseri Zaidan yang sedang di taman kampus.

"Assalamu'alaikum mbak Zana." Tangannya melambai-lambai ke kamera.

"Wa'alaikumsalam Dan. Giginya kering tuh." Zana meletakkan ponselnya dekat pot bunga hias dekat laptopnya.

"Nggak papa. Yang penting tampan." Zaidan menyengir bahagia.

"Dapat A+ ya, kok sumringah." Zana menyimpan hasil ketikannya.

"nggak kok." Zaidan menatap intens wajah lawan bicaranya.

"Lalu? Punya gebetan?" Zana menebak lagi.

"Astagfirullah mbak Zan. Aku nggak mau pacaran, kan mbak Zana yang bilang nggak boleh. Kok mbak Zana lupa sih." Zaidan memilih duduk. Capek rupanya.
"Aku tuh bahagia banget, karena mbak Zana itu tambah kinclong selama disana. Udah di bawa mama ke salon mana aja?" Zaidan memainkan alisnya.

DESIRETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang