15

70 5 0
                                    

Tiba waktunya Zana dan Ahda berangkat umroh beserta rombongan tour dan travel. Kebahagiaan terpancar jelas di wajah keduanya. Tanah suci adalah tempat ibadah impian seorang Zana. Kesana adalah panggilan Allah, meskipun ia berangkat karena nazar seorang Ahda. Sahabatnya.

Banyak pesan yang terlontar dari bu Nana dan bu Mela. Sekiranya disana untuk saling mengingatkan dan tidak bertengkar karena hal sepele.

"Kamu jangan ngerepotin Ahda. Sudah umur begini harus pintar-pintar disana." Bu Mela membenarkan letak kerudung Zana.

"Iya mama. Zana bakalan ingat pesan mama. Lagian Zana disana bareng ibu-ibu itu." Sambil menunjuk keberadaan ibu-ibu yang masih dikelilingi oleh sanak keluarga. Bu Nana paham.

"Kalian berdua itu, jangan lupa berdoa supaya cepat dapat jodoh." Bu Mela ikut bicara.

Zana mengangguk antusias. Ahda tertawa.

"Cukup bicaranya, rombongan kalian sudah di panggil. Hati-hati. Jaga kesehatan kalian." Papanya Ahda tersenyum.

Zana langsung mencium takjim tangan beliau, beserta bu Nana dan Bu Mela, diikuti Ahda.

Mereka melambaikan tangan begitu bergabung dengan rombongan.

"Dek, yang itu suaminya ya?" seorang ibu-ibu menunjuk Ahda.

"Oh, dia sahabat saya bu." Zana tersenyum. Sudah ia duga pasti dikira pasangan suami istri.

"Ibu kira suami kamu. Maaf ya." Ibu tadi tersenyum.

"Iya bu ngga papa."

Mereka memasuki pesawat sambil memeriksa tiket dan mencocokkan nomor kursi.

"Kita pisah tempat duduk, nggak papa ya."

"Duh ngagetin aja sih Da." Tiket ditangan Zana terbang melayang dan terhenti di sepasang sepatu mengkilap. Dengan permohonan maaf Zana mengambil tiket tersebut.

"Nggak papa." Suara maskulin itu menyahut permintaan maaf Zana.

Zana mengangguk. Kembali ke kursinya. Ahda melihat kejadian itu. Dia bersyukur Zana menunduk tadinya, dan tidak melihat wajah lelaki itu. Dia takut Zana jadi baper ketika melihat wajah si lelaki tampan itu.

'Tapi, Zana nggak bakalan baper kan.' bisik hati Ahda. Melirik Zana yang sedang memakai sabuk pengaman. 'Syukurlah'.

"Mas, kok kursinya tidak sebelahan sama istrinya?"

"Saya pak?" Ahda menunjuk ke dirinya sendiri.

"Iya, siapa lagi memangnya." Seorang bapak-bapak tadi terkekeh.

"Ouh. Dia bukan istri saya, tapi sahabat." Ahda tersenyum.

"Saya kira istrinya. Tapi, saya doakan mas, supaya berjodoh sama mbaknya." Bapak tadi menepuk pundaknya seraya menghadap depan, dan membenarkan posisi duduknya.

'Aamiin ya rabbal alamin', cukup dalam hati Ahda. Menyengir tipis. Lalu sama-sama membenarkan posisi duduk dan memasang sabuk pengaman.

Selama perjalanan yang cukup panjang, Zana tertidur pulas. Bangun ketika merasa ingin buang air kecil. Seketika keluarnya dari toilet , ia berpas-pasan dengan si sepatu mengkilap di depan toilet. Lelaki itu tersenyum manis namun tak terlihat oleh Zana.

"Zana bukan?"

Merasa ditanya, Zana mendongak, dahinya berkerut. Lalu mengangguk.

"Arsyila Romeesa Farzana kan?"

Lagi-lagi mengangguk.

"Syukurlah, berarti orangnya benar kamu." Lelaki itu tersenyum bahagia.

Ahda yang melihat ke kursinya Zana yang sudah di tinggalkan selama beberapa waktu tidak kembali juga. Ia berinisiatif melihat, takutnya Zana sakit perut atau ada hal lainnya.

DESIRETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang