🌿
Memasuki bulan kedua di Malaysia. Zana sudah dinyatakan pulih. Berkat rutin berobat. Ketiga dokter spesialis yang berdiri dihadapannya itu tersenyum bahagia. Bertemu pasien dari negara tetangga. Awalnya mereka bingung kenapa harus repot-repot terbang ke Malaysia kalau ternyata di Indonesia pun dokter spesialis sudah lengkap. Begitu istri dari perdana menteri yang datang ke rumah sakit dan langsung berhadapan dengan mereka, baru mereka paham.
"Terima kasih ibu sudah mempercayai kami sebagai orang yang menangani keluarga ibu."
"Sama-sama. Kami permisi dulu." Mamanya Zaidan tersenyum dan pamit, begitu juga Zana dan mamanya.
Terlihat sekali perbedaan mencolok antara Zana, bu Nana, dan mamanya Zaidan.
"Nak Zana kamu duduk di kursi depan ya, tante mau bicara dengan mamamu."
"Oh iya tante." Zana langsung membuka pintu mobil dan duduk manis.
Zana tersenyum memandang mamanya Zaidan yang sibuk memasukkan cemilan ke dalam mobil.
Mereka adalah pejabat yang baik hati dan ramah kepada setiap orang. Bahkan mereka bisa berbahasa Indonesia dengan fasih. Hidup sederhana. Tapi, menurut Zana itu bukanlah sederhana. Rumah mereka megah.
Ibu Khansa Maida, mamanya Zaidan, perempuan yang baik hati. Senyuman tak pernah luntur ketika ia mengajak Zana dan bu Nana pergi berbelanja.
Bu Khansa sering minta ajari masakan khas Indonesia.
"Zan, kamu belum pernah bertemu Haziq?" Bu Khansa mengulurkan kripik pisang ke arah Zana didepan.
Zana mengingat kembali dua bulan terakhir apakah pernah melihat si Haziq. Jangan-jangan itu kakaknya si Zaidan. Yang tempo hari di gembar gembor oleh Zaidan kepadanya.
"Sepertinya tidak pernah bu." Zana menjawab jujur.
"Dia seorang pengacara, jadinya sibuk. Pulang ke rumah itu jarang sekali. Dia juga tinggal di apartemen yang sama dengan Zaidan, hanya beda unit." bu Khansa menyodorkan air mineral. "Kalau kalian kemaren tinggal di apartemen Zaidan, sudah pasti ketemu dia."
Zana tersenyum menghadap bu Khansa, "dia pasti pulang tante."
Bu Khansa mengangguk.
"Bu Nana, pengobatan Zana kan sudah selesai, bisa kan bu kalau ibu berdua tetap disini sampai habis semester Zana?"
Bu Nana terkejut dengan permintaan dadakan ini. Ia memandang Zana yang sama-sama kaget. Disisi lain, ia sangat berhutang budi dengan bu Khansa. Di sisi lain, kasihan Zana yang harus melanjutkan kuliahnya. Ia bisa merasakan repotnya Zana kuliah jarak jauh seperti ini.
"Bisakah ibu memberikan waktu untuk saya berpikir?" Bu Nana tersenyum.
Bu Khansa mengangguk tanda setuju. Kemudian mengeluarkan ponselnya dan melakukan panggilan.
"Halo Assalamu'alaikum. Kamu bisa pulangkah malam ini? Oke mama tunggu. Dah, Wa'alaikumsalam." panggilan selesai.Tak terasa perjalanan mereka sudah memasuki kawasan Sri Hartamas. Mobil mewah itu memasuki halaman yang cukup luas. Ketika mobil sudah terhenti, bu Khansa tampak kaget. Haziq sudah berdiri membukakan pintu mobil untuk mamanya.
Zana sempat terpana. Cepat-cepat ia istighfar. Tidak sehat jadinya keluar mobil dengan jantung deg degan. Cepat-cepat ia membuka pintu mobil.
"Aww."
"Kamu kenapa?" Bu Khansa heran dengan Haziq.
"Aduh maaf-maaf, saya salah, membuka pintu tidak hati-hati." Zana menangkup tangannya lalu menunduk.
KAMU SEDANG MEMBACA
DESIRE
Fiksi UmumAku hanya berkeinginan agar kamu tau, bahwa aku ingin bersamamu sampai akhir hayatku. Menjadi wanita beruntung, bahagia dan sempurna. "Arsyila Romeesa Farzana" _____🌷 Aku terlalu bijaksana dengan menghadapi kelakuanmu. Bersedia menyembunyikan sesu...