SL 1 | Trauma jadi dusta

6.3K 265 11
                                    

"Untuk bertemu denganmu, aku harus menyiapkan berjuta rasa di hati. Entah kesenangan, atau rasa siap untuk terluka dan kembali ditinggalkan."

_Alea Kwayera_
.
.
.

Bab satu | Skenario Langit

Bab satu | Skenario Langit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Hai, Ayera."

Aku mematung.

Entah bermimpi bintang jatuh atau meteor tenggelam semalam, aku benar-benar tidak mengerti mengapa wajah itu tak asing di mataku, juga panggilannya benar-benar terdengar akrab di telinga. Tanpa sadar jemari tanganku terasa berkeringat, lututku juga rasanya benar-benar lemas. Sulit rasanya melakukan apa yang diinginkan hati, karena aku malah memalingkan wajah darinya, seseorang yang selalu ingin kulihat dan kuajak bicara tentang banyak hal setiap hari.

"Apa kabar?" tanyanya, benar-benar menyesakkan untuk didengar. Senyumnya merekah tanpa beban, seolah tak ada yang harus ia jelaskan setelah bertahun-tahun terlewati.

Aku menghela napas, lantas tersenyum. Aku tidak boleh kalah, sejauh ini aku sudah berhasil melewati ini semua. Bahkan meski dia kembali, tidak seharusnya aku terlihat seperti orang yang menggenggam masa lalu itu sendirian.

"Sepertinya kamu sudah lebih baik dari kamu yang dulu," katanya lagi.

Aku memejamkan mata sejenak lalu membukanya lagi dengan senyum yang lebih lebar. Lelaki itu tak tahu, bahwa di balik aku yang terlihat baik-baik saja ini, aku tidak pernah seinci pun pergi dari kenangan masa lalu. Ditinggalkan oleh orang yang paling kita sayangi bukanlah hal yang mudah dihadapi, untuk itu, rasanya masih saja seperti baru terjadi kemarin pagi. Apalagi kembali melihat kehadirannya di sini.

"Tentu saja," sahutku, sembari menghampiri Umma dan abu yang sedang berbincang dengannya. Menyalami mereka satu persatu.

Tidak ada sorot mata hangat yang biasa kupancarkan untuk lelaki ini. Sejak hari kematian Ilya, inilah hari pertama aku bertemu dengannya lagi. Jadi rasanya, benar-benar menyakitkan.

Ilya, harus bersikap bagaimana aku sekarang? Dia pergi tepat setelah kamu dikebumikan. Bukankah sudah seharusnya aku marah? Bukankah sudah seharusnya aku merasa kecewa? Bukankah sudah seharusnya aku merasa keberatan dengan keputusannya?

Ilya, bolehkan aku marah?

Merasa tidak ada yang ingin dibicarakan, aku memilih untuk beranjak ke kamar. Bukan tidak ada yang ingin dibicarakan sebenarnya, hanya saja aku tidak tahu harus memulai pembicaraan sensitif ini dari mana.

"Alea ke kamar dulu, Ma, Bu." Aku sempat melihat jemari Abu yang menahan pergerakan umma. Ah, umma pasti keberatan karena aku meninggalkan lelaki itu begitu saja di sana. Sedangkan abu, ia pasti memahami bahwa keadaan yang tiba-tiba ini sulit untuk dihadapi putrinya.

Skenario Langit |Revisi-On Going|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang