SL 17 | Kakak adik?

1.5K 170 22
                                    

Yang seharusnya diperbesar itu hati, bukan kepala. Yang seharusnya diturunkan itu ego, bukan harga diri.
Yang seharusnya diperbanyak itu husnudzon, bukan prasangka buruk.
Meski kata seharusnya tak selalu mudah diterapkan, setidaknya mencoba lebih baik daripada tidak sama sekali.

.
.

Aku mendorong pagar lalu menoleh untuk melambaikan tangan pada bunda sebelum benar-benar memasuki rumah. Diskusi perihal baju pernikahan tadi tidak berlangsung lama, karena mau aku ataupun Ilham, kami tidak banyak protes dan dengan senang hati mengikuti kemauan bunda.

Meski pernikahan ini terkesan seperti perjodohan, aku tahu bahwa pernikahan bukanlah permainan yang bisa ditinggalkan saat salah satu dari kami merasa tak mampu menghadapi keadaan. Mungkin itulah alasan mengapa Ilham mengirim sebuah pamflet kajian pra nikah kepadaku, ia takut aku bersikap ceroboh dan semaunya saat nanti sudah menikah. Sebab sejak dulu, Ilham memang lebih suka menegurku sebelum aku benar-benar melakukan kesalahan.

Ilham memegang keras prinsip, 'Lebih baik mencegah daripada mengobati.'

"Assalamualaikum, Lea pulang!"

Tidak ada yang menjawab saat aku membuka pintu dan memasuki rumah. Mungkin Mas Langit pergi ke rumah sakit, umma dan abu juga belum pulang. Mbak Sofie? Ntahlah.

Setelah lamaran Kak Shen waktu itu, aku jadi semakin canggung berhadapan dengannya. Setelah apa yang aku hadapi, menjaga hati adalah pilihan terbaik. Setiap dekat dengan Mbak Sofie, aku hanya akan membanding-bandingkan diriku dengannya. Akan mulai meremehkan diri sendiri karena menyadari dilihat dari sisi manapun, Mbak Sofie memang sangat pantas dicintai dibanding aku. Itulah mengapa sampai saat ini, cinta pertamaku tak kunjung dapat tersampaikan. Terus terpendam bahkan sampai aku memiliki calon pendamping hidup.

Sembari bersenandung, aku mulai membuka pintu kamar. Namun, langkahku terhenti saat melihat ada orang lain di kamarku. Awalnya aku tidak keberatan, tetapi saat melihat sesuatu yang Mbak Sofie pegang, aku segera mempercepat langkah dan merebut buku biru langit yang entah sudah dibaca sampai lembar ke berapa olehnya.

"Eh, Alea. Maaf, tadinya Mbak ke sini tuh mau ketemu kamu, ada banyak yang ingin Mbak tanyakan sekaligus Mbak ceritakan. Berhubung kamu gak ada, Mbak jadi iseng buka-buka buku yang ada di atas meja belajar kamu. Maafin Mbak, ya..."

Aku mengepal.

Sejak dulu, entah siapapun orangnya, aku tidak suka barang-barang pribadiku disentuh orang lain. Apalagi yang menyinggung privasi. Meski itu Mbak atau bahkan Umma sekalipun.

"Mbak tau kalo Alea gak suka barang-barang Alea disentuh orang lain," desisku tak suka.

Mbak Sofie tertawa kecil seraya menggaruk tengkuknya.

"Mbak kan kakak kamu? Bukan orang lain, kan?"

Aku menyimpan kembali buku diary itu ke atas meja dengan sedikit keras. Berhasil membuat tubuh Mbak Sofie sedikit tersentak. Ia menatapku tak mengerti, aku membalas tatapannya dengan tajam. Menekankan bahwa aku tak suka sikapnya yang tidak sopan.

"Mbak emang kakak aku, tapi Mbak tetap orang lain. Jangan mentang-mentang ngerasa Mbak itu kakak aku, Mbak jadi berhak atas segala barang-barang milik aku. Oke, aku maafin Mbak yang masuk kamar aku tanpa izin. Tapi, aku gak bisa maafin Mbak kalo Mbak terus semena-mena dan tanpa dosa menyentuh privasiku!" Aku benar-benar kesal saat mengatakannya. Sehingga setelah mengatakan itu, aku melempar tas ke sembarang arah seraya mengambil handuk dan memasuki kamar mandi. Menutup pintunya dengan kasar.

Skenario Langit |Revisi-On Going|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang