SL 12 | Ga sadar, kayaknya aku nunggu kamu.

1.7K 165 7
                                    

Sadarilah bahwa sakit hati seringkali hadir karena kita mengundangnya sendiri. Siapa suruh kamu bodoh dengan menggantungkan harapan dan bahagiamu pada raga orang lain? Percaya saja pada ragamu dengan tidak memberikan apapun tanpa menyisakannya sedikitpun untuk dirimu sendiri.
.
.
.

Berminggu-minggu berlalu setelah insiden hari patah hatiku. Kak Shen dan Mbak Sofie memutuskan untuk melaksanakan pernikahan dua bulan setelah acara lamaran kemarin. Saat mendengar Mbak Sofie dilamar, aku sempat memikirkan untuk melaksanakan resepsi berbarengan dengannya. Tapi setelah tahu Kak Shen orangnya, sepertinya tidak mungkin. Aku khawatir tidak bahagia di acara pernikahanku yang satu kali seumur hidup itu.

Apa kabar pernikahanku? Entahlah, calon suaminya saja entah sedang apa dan di mana. Selama berminggu-minggu ini, dia tidak mengabariku dengan satu pesan pun. Padahal satu chat tidak akan membuat dia kehilangan kuota 1 GB.

Mengingat Ilham tiba-tiba suasana hatiku jadi buruk. Padahal Ilham harusnya tahu, aku tidak akan berani mengirim pesan lebih dulu.

"Heh, gak kuliah?" Mas Langit merebut cemilan yang ada di pelukanku, membuatku mencebik kesal. Dasar dokter satu ini. Keberadaannya selalu saja membuatku darah tinggi.

"Gak! Sini balikin." Aku merebut lagi cemilan di tangannya.

Mas Langit geleng-geleng kepala, seraya memindahkan siaran televisi.

"Lagian ngapain Mas di rumah? Tumbenan."

Mas Langit memelototiku dengan wajah yang tidak ada seram-seramnya.

"Gak ada sopan-sopannya nanya gitu sama Kakak sendiri."

Aku nyengir.

Umma bilang, tahun ini adalah tahun kebahagiaan. Karena anak-anaknya sudah beranjak dewasa dan akan segera menikah. Kulihat, semakin hari Mbak Sofie juga semakin terlihat bahagia. Ia selalu menceritakan hal-hal kecil tentang Kak Shen pada umma--yang tak sengaja kudengar. Sudah beberapa kali juga Kak Shen datang hanya untuk mengantarkan sesuatu pada Mbak Sofie. Mereka memang tidak sering bertemu, karena Umma dan Abu melarangnya. Katanya, kalau mau sering bertemu, percepatlah pernikahannya. Mereka memilih untuk menjaga jarak dulu karena Mbak Sofie harus menyelesaikan skripsinya.

Sedangkan Mas Langit, entah apa yang ada di pikirannya. Setiap kali ditanya kapan membawa calonnya pada Umma dan Abu, Mas Langit selalu bilang tidak ada waktu untuk mencari calon istri. Ingin sekali ku blender otaknya itu.

"Mas gak sibuk hari ini?"

Mas Langit menoleh, seraya menganggukkan kepalanya. Wajahnya seolah bertanya padaku, "Memangnya kenapa?"

Aku nyengir seraya berujar, "Cari istri sono, mumpung lagi gak sibuk ngurus pasien."

Mas Langit seketika menoleh ke arahku, kali ini entah kenapa Mas Langit berhasil men-setting wajah tampannya jadi sedikit menyeramkan.

"Emang kamu kira nyari istri kaya nyari cemilan kamu itu ke alfamart? Cuma butuh berjam-jam doang?" katanya mulai ngegas. Membuatku tertawa puas.

Entah kenapa membahas istri selalu saja berhasil membuat aura horor Mas Langit keluar. Padahal apa salahnya menikah di tengah kesibukan? Pernah sewaktu-waktu Mas Langit bilang kalau kehadiran seorang istri itu mengganggu. Nanti dia jadi tidak fokus saat di rumah sakit karena dibaweli istri untuk cepat pulang.

Saat itu aku membantah, bahwa seorang istri juga pasti memahami pekerjaan suaminya. Lalu Mas Langit kembali menentangku dengan mengatakan melihat sifatku saja Mas Langit jadi enggan menikah. Seketika aku diam, Mas Langit itu memang bisa saja memutar arah bullyan.

Skenario Langit |Revisi-On Going|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang