SL 3 | Bimbang

2.2K 188 11
                                    

"Jangan berburuk sangka saat doamu tak kunjung dikabulkan. Karena jika doamu terkabul pun, belum tentu kamu akan bahagia."

________

Aku menghembuskan napas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku menghembuskan napas.

Mengingat Ilham berada di rumah ini dan Kak Shen yang jauh di sana, aku seperti berada dalam sebuah mimpi indah bersama Kak Shen tapi dipaksa bangun untuk menghadapi kenyataan pahit dengan Ilham.

Oh Allah... maafkan aku yang selalu berprasangka buruk. Kali ini aku akan menghadapinya dengan lapang dada. Toh, jikapun pada akhirnya aku menikah dengan Ilham, bukankah itu berarti sejak awal aku memang ditakdirkan untuk hidup bersamanya? Meski berat, meski aku belum sepenuhnya ridho melepas perasaan untuk Kak Shen, setidaknya hal yang paling waras untuk kulakukan saat ini adalah menghadapinya. Karena menghindar tidak akan pernah menyelesaikan masalah.

Aku memakai rok seadanya, lalu meraih jilbab instan yang menggantung di lemari. Aku tiba-tiba penasaran bagaimana ya rasanya berdebar saat dilamar seeorang yang kita cintai? Ah, kata Nayla waktu itu, rasanya seperti naik roalercoaster. Takut tapi menantang. Bahkan Nayla menceritakan bahwa pada saat orang yang disukainya itu memberitahukan akan ke rumah membawa keluarga, Nayla sampai mandi lebih dari 30 menit. Belum lagi, ia memakai baju yang paling ia sukai.

Aku tersenyum miris.

Dan pada akhirnya, aku tidak merasakan sensasi itu. Dulu saat menyaksikan pernikahan Nayla, sahabatku, kupikir semua wanita akan merasakannya. Kupikir semua wanita pada akhirnya akan seperti Nayla. Namun ternyata tidak, cara Allah mendatangkan jodoh itu tidak sama. Cara Allah mempertemukan setiap hamba-Nya itu berbeda-beda.

Aku membuka pintu kamar, mulai berjalan mendekati dua keluarga yang sedang bercengkrama.

Ah, Bunda Halimah adalah orang yang baik. Sejak kecil aku tidak pernah kekurangan kasih sayang. Sebab dengan adanya Bunda Halimah, aku seperti merasa memiliki dua ibu. Begitupun Ayah Firman, saat Abu sibuk mengelola berjalannya pondok pesantren milik kakek, Ayah Firman selalu mewakili abu untuk menjadi seorang ayah yang baik, untukku, Ilya dan Ilham.

"Assalamualaikum." Aku menyalami Bunda Halimah, lalu menelungkupkan tanganku di hadapan Ayah Firman. Meski sudah seperti ayah sendiri, beliau tetaplah bukan mahramku.

"Waalaikumsalam. Masya Allah, semakin besar semakin sopan dan cantik saja ya, Alea ini." Bunda mengatakannya sembari mengusap lembut kepalaku.

Aku hanya membalasnya dengan senyuman.

"Karena pemeran utamanya sudah datang, mari langsung ke intinya saja," ujar Ayah Firman sembari terkekeh.

"Jadi, kami di sini untuk meminta Nak Alea, untuk dinikahkan dengan putra kami satu-satunya, yaitu Ilham."

Ruangan itu tiba-tiba hening. Entah mengapa aku merasa semua mata yang menatapku, dapat menghunus irisku sewaktu-waktu.

Aku menelan saliva dengan susah payah. Sekuat tenaga untuk dapat bersikap biasa saja. Tidak menampilkan bahwa rasanya, Ilham sudah merusak segala mimpi yang sudah kurajut susah payah.

Skenario Langit |Revisi-On Going|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang