SL 4 | Kwayera

2K 190 8
                                    

"Hadapilah hari burukmu dengan tenang, tidak gusar, tidak panik, tidak meratapi apalagi sampai menyalahkan takdir Allah."

_______

Setelah kelas selesai, aku dan Ara beranjak ke kantin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah kelas selesai, aku dan Ara beranjak ke kantin. Nayla memberi kami pesan bahwa dia sudah ada di sana dengan suaminya. Suaminya baru mau pergi kalau sudah memastikan Nayla bersama kami. Ah pasangan itu, selalu saja berhasil membuatku merasa iri dan membuat Ara mengatakan bahwa menjadi jomblo itu mengenaskan.

Benar saja, pasangan itu sedang duduk di pojok kantin, bercanda tawa seperti dunia ini hanya milik mereka berdua.

Aku berdehem, mengalihkan perhatian mereka. Lelaki manis yang notabenenya suami sahabatku itu lantas berdiri.

"Eh Alea dan Ara sudah di sini. Yasudah, saya pergi dulu. Titip istri saya, ya. Kalau pulang ada yang lecet, kalian yang pertama kali saya hubungi," pamitnya seraya terkekeh. Membuatku dan Ara berdecih kesal.

"Suamimu itu bener-bener." Aku menggelengkan kepala sedangkan Nayla sudah tersenyum tidak jelas.

Nayla menikah satu tahun yang lalu, saat kami masih berada di semester 4. Kisah cinta mereka klise, bisa dibilang, perantara pertemuan mereka itu aku. Sore itu, aku meminta Nayla yang lemah lembut dan Solehah itu mengantarku pergi menemui Mas Langit di rumah sakit. Saat aku dan Nayla diperintahkan untuk menunggu di ruangan Mas Langit, datanglah Mas Arkan itu. Dia memberitahu kami bahwa Mas Langit ada jadwal operasi dadakan dan sepertinya akan membutuhkan waktu yang lama.

Tidak enak membiarkan kami menunggu, Mas Arkan menemani kami mengobrol banyak. Mas Arkan berhasil membuat Nayla antusias dalam perbincangan kami sore itu. Ya ampun, aku saja takjub melihatnya. Seorang Nayla yang pendiam dan paling malas berbicara banyak itu bahkan mampu tertawa di hadapan Mas Arkan yang notabenenya orang baru. Oh ternyata, di sana aku lah yang paling tidak nyambung dalam percakapan.

Aku mengerti kenapa Nayla antusias. Sebab keduanya memiliki hobi dan kebiasaan yang sama. Pembicaraan kami menjelang Mas Langit datang hanyalah seputar buku-buku yang mereka sanjung-sanjung. Sesekali mereka membahas isi bukunya, membuatku benar-benar diam tak berkutik. Oh ayolah, sejak kapan aku suka berdiskusi perihal buku di luar jam mata kuliah?

"Duduk, Lea, Ra. Aku mau traktir muka-muka kelaparan kalian." Suara Nayla kembali mengintrupsiku untuk pergi dari ingatan insiden obat nyambuk itu.

Aku dan Ara mengangguk. Mengikuti permintaan bumil cantik ini. Nayla cantik, belum lagi sikapnya yang benar-benar murni perempuan. Lemah lembut, Solehah, anggun dan tidak banyak bicara seperti perempuan kebanyakan. Bahkan dulu Kak Shen sempat menyukai dan mendekati Nayla. Aku juga sempat curiga kalau Kak Shen mendekatiku hanya untuk pelampiasan kepatah hatian setelah mendengar kabar pernikahan sahabatku ini.

Namun, aku tidak peduli, karena aku menyukai Kak Shen.

"Gimana keponakan gue dalem sana," tanyaku sembari menunjuk perut Nayla yang sedikit membuncit.

Skenario Langit |Revisi-On Going|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang