C H A P T E R 1

1.2K 112 17
                                    

Green Down Village.

*

Angin kencang menerpa wajahku dalam sekali hentakan--membuat wajahku mendadak kaku dan aku yakin rambutku saat ini benar-benar berantakan. Aku menahan nafas, apakah barusan adalah angin hantu?

Sialan. Itu tandanya aku baru saja terkena angin hantu. Pantas saja wajahku terasa kaku dan mati rasa.

Kasus ini benar-benar menyulitkan diriku. Di tambah lagi, agen-agen bawahan yang disediakan oleh para penyelia di desa ini kabur--berlari terbirit-birit saat aku mengajak mereka ke lokasi berhantu dan bertemu dengan hantu legendaris tanpa kepala di desa tersebut. Katanya selama dua bulan terakhir hantu tersebut yang menjadi topik hangat di desa ini. Memang belum ada korban nyawa, tetapi tidak ada salahnya untuk mencegah lebih cepat. Dari awal seharusnya aku tidak mengajak para pengecut itu untuk membantuku. Karena, pada akhirnya aku sendirian yang menuntaskan pekerjaan ini.

"Tunjukkan dirimu ..." gumamku sembari mengedarkan pandangan ke sekitarku persis seperti seorang gadis lugu yang sedih dan memanggil-manggil peliharaannya. Wajahku sudah mulai sedikit meregang, tetapi masih saja terasa kaku dan mati rasa meski aku sudah dapat merasakan bibirku berkedut.

Aku mengeluarkan rapier baruku dengan gagang bermotif yang di impor langsung dari Italia. Maksudku, bukan di impor, tetapi Kipps yang membawakannya sebagai hadiah natal tahun lalu.

Tiga kantung berisi bubuk besi telah tersusun rapi dan siap di pergunakan, jika saja nanti ada gugus hantu yang menyerangku secara bersamaan.

Di lapangan seluas ini akan sulit mencari sumber hantu tersebut. Di tambah lagi, kabarnya hantu tanpa kepala itu mencari-cari kepalanya yang entah berada di mana.

Atau...

Mungkin kepalanya lah yang merupakan sumbernya!

Aku berlari mengitari lapangan ini dan melihat sosok itu berdiri di seberang lapangan. Aku harus terus bergerak, karena dia melihatku dan mulai melesat melayang di udara menyeberang lewat tengah lapangan.

"Hei! Kau curang!" Ucapku seperti orang gila.

Aku bisa mendengar desahan-desahan melas ala hantu dengan jiwa yang tersesat seperti hantu tanpa kepala ini. Dia tidak ingin meminta bantuanku, dia hanya ingin kepalanya tidak di ambil. Tentu saja aku tidak akan mengambil kepalanya. Aku hanya ingin membungkus kepalanya ke dalam kantung berisi bubuk perak, kemudian membawanya ke tungku pembakaran. Yang benar saja.

"Tenang, Tuan Tanpa Kepala. Aku hanya ingin mengambil kepalamu setelah itu memulangkanmu ke dunia yang lebih layak!" Ujarku lagi dengan gemas, karena dia sekarang meraung saat sosoknya mulai berhasil mendekatiku yang masih sibuk berlari menghindar sembari melayangkan ujung rapier ke udara untuk menghalau sosok tanpa kepala tersebut.

"Di mana kepalamu?" Aku bertanya kepadanya, namun yang ku dapatkan hanya geraman penuh amarah dan kedua tangan kurusnya yang terkepal erat.

Bagus sekali. Aku baru saja membuat sosok hantu tipe dua mengamuk!

Aku melempar sekantung bubuk besi ke arahnya--tepat di bawah tempat dia melayang dan sukses mengenai sasaran. Plasma-plasma nya sedikit berhamburan dan memberikan waktu untukku mencari keberadaan sumber yang aku yakini berada terkubur di tanah tempatnya berdiri sebelum menyeberangi lapangan tadi.

Aku mengambil batu yang ada di sekitarku, kemudian mulai menggali bagian yang tepat. Semoga saja. Aku sudah berlari mengitari lapangan ini, akan sangat mengecewakan, jika sampai aku tidak menemukan sumber nya.

"Ayolah..." aku mendesis dan berusaha untuk tidak panik ketika pandanganku mendapati si hantu tanpa kepala itu mulai bangkit kembali.

Aku mempercepat gerakanku dalam menggali menggunakan batu ini. Semakin cepat ...

...dia semakin dekat.

Aku lebih cepat lagi menggerakkan kedua tanganku sampai terasa keram. Hingga akhirnya batu yang ku gunakan untuk menggali tak sengaja menyentuh sesuatu yang keras dari dalam tanah. Aku membuang batu itu dan lanjut menggali menggunakan jari-jariku sampai akhirnya terlihat tulang tengkorak kepala. Aku pun berusaha lebih keras menarik tulang tersebut tanpa harus menghancurkannya. Sampai aku tidak menyadari kalau si sosok tersebut sudah dekat sekali denganku.

Aku segera menjauh dan melayangkan ujung rapier milikku. Telingaku berdengung saat mendengar erangan memekik yang berasal darinya. Saat dia sedang sibuk kesakitan, aku menambahkan serangan dengan melemparkan satu kantung bubuk besi lagi ke arahnya. Dia melemah untuk yang kesekian kalianya. Ini kesempatan terakhirku untuk mengambil karung berisi bubuk perak yang aku masukkan ke dalam tas.

Aku mengeluarkannya dengan tergesa-gesa, lalu memasukkan tengkorak kepala itu ke dalam karung tersebut. Bagaikan asap yang tersedot, sosok hantu itu lenyap begitu saja.

Aku pun terduduk di rerumputan sembari menghembuskan nafas lega. Jantungku masih berdegup tak karuan dan memilih untuk berbaring sebentar, karena sepuluh menit lagi matahari akan terbit.

Misi ini akhirnya selesai.

~<>~

Keesokan harinya aku bersiap-siap pergi kembali ke kota. Mrs. Dan Mr. Percival sudah memberikan bayaran yang lumayan kepadaku. Mereka juga menawarkan bantuan berupa kendaraan menuju ke stasiun kereta, tetapi aku menolaknya. Aku ingin menikmati pemandangan desa seperti ini sendirian. Hanya diriku. Mereka adalah pasangan tua yang baik hati.

"Terima kasih, Nona Length." Ucap Mr. Percival saat dia dengan istrinya mengantarku menuju ke gerbang desa.

Aku mengangguk dan memasang senyum terbaikku, "sama-sama. Itu sudah menjadi kewajibanku."

"Nona Length, berapa umurmu?" Tanya Mrs. Percival.

"Umurku 22 tahun."

"Wah, kau masih sangat muda. Apa kau sudah mempunyai seorang kekasih? Atau mungkin seorang suami?" Mrs. Percival terkekeh pelan.

"Oh, sayang, jangan begitu. Nona Length jadi tersipu malu," celetuk Mr. Percival yang langsung merangkul istrinya.

Aku tertawa pelan dan memaklumi perkataan mereka, "aku tidak punya kekasih dan suami. Aku belum menikah."

"Benarkah? Sayang sekali..." Mrs. Percival terlihat terkejut, "padahal kau gadis yang cantik. Pasti ada lelaki yang mengagumimu."

Tiba-tiba aku teringat Kipps dan akhirnya tersenyum malu sendiri.

"Aku yakin itu, Mrs. Percival. Terima kasih, karena kalian sudah mau mengantarku ke gerbang ini." Aku menggangguk singkat, sebuah taksi menuju stasiun kereta sudah menungguku, "sampai jumpa."

Aku berbalik dan masuk ke dalam taksi. Sepasang suami-istri itu melambaikan tangannya kepadaku. Aku membalas lambaian tangan mereka. Senyuman hangat itu benar-benar memberikan kenangan indah. Terlebih lagi aku bisa merasakan kelembutan seorang ibu dari Mrs. Percival dan kebaikan seorang ayah dari Mr. Percival.

Aku merindukan mereka semua. Sudah hampir dua bulan lamanya aku berada di desa ini. Desa ini nyaris saja terjangkit wabah hantu. Aku meriset dan terus meriset hingga akhirnya mendapatkan titik fokus yang tepat untuk menyelesaikan kasus ini.

Aku ...

...benar-benar merindukan segala sesuatu yang ada di kotaku.

Dan akhirnya aku pulang.

~~<*>~~

HIYAAAYYY!!!

Sawadikap Everyone!!!

Saya author Lou Length kembali lagi dengan lanjutan cerita dengan alur yang masih segar!!!

Read, vote, comment. Hargai setiap kata yang saya tuangkan ke dalam chapter ini!

I lav u all!!

Love,

Mrs. Black

Lou Length: The White WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang