C H A P T E R 22

347 54 2
                                    

Julio Curtain adalah nama korban terakhir yang keluarganya akan kami kunjungi pada hari ini. Mrs. Albert menuntun aku dan Kipps ke arah Selatan yang lumayan jauh dari kediaman Robertson. Dari kejauhan, sebuah cerobong asap terlihat mengeluarkan gumpalan kelabu dari dalamnya. Dan detik selanjutnya, kita bisa melihat keberadaan rumah pemilik cerobong asap tersebut. Rumahnya sederhana. Ala desa pada zaman dahulu yang sebagian besar dindingnya terbuat dari batu yang sudah berlumut. Pintu dan jendelanya tertutup rapat seperti biasa. Rumahnya di kelilingi oleh ladang jagung.

Aku, Kipps, dan Mrs. Albert melangkah menaiki undakan lebar hingga tiba ke teras. Mrs. Albert mengetuk pintu, kemudian terdengar sahutan dari dalam rumah.

Pintu kayu ek itu terbuka lebar memperlihatkan sosok pria yang mungkin tidak terlalu tua. Umurnya sekitar 30 tahun ke atas. Dia tersenyum menatap Mrs. Albert, aku, dan Kipps.

"Selamat siang, Huge." Sapa Mrs. Albert sembari tersenyum ramah.

Mungkin ini adalah kakaknya Julio Curtain. Mrs. Albert bilang kalau Julio hanya tinggal bersama kakak laki-lakinya dan kakak iparnya--istri dari Huge Curtain. Orangtua mereka meninggal karena kecelakaan.

Huge balas tersenyum dan mengangguk singkat. "Selamat siang, Mrs. Albert. Ada keperluan apa?"

"Huge .... siapa yang datang?"

Seruan seorang wanita terdengar dari arah dalam rumah. Huge menoleh lewat pundaknya sembari berkata, "Mrs. Albert dan dua tamu lainnya."

Huge tersenyum sopan. "Maaf, itu tadi istriku."

"Tidak masalah, Huge. Boleh aku meminta waktumu sebentar? Sebenarnya, kami yang hendak meminta waktumu sebentar." Jawab Mrs. Albert.

"Waktu? Untuk membicarakan apa?"

"Tentang adikmu." Mrs. Albert menatapku, "ini Louissa Length dan rekannya, Kipps. Mereka berdua adalah pemburu yang hendak membantu desa kita terbebas dari Wanita Putih itu."

Wajah Huge menjadi pias seketika. Dia menyorotkan tatapannya kepadaku. Terutama kepadaku. Cukup lama sampai akhirnya, seorang gadis kecil. Mungkin umurnya sekitar 5 tahun tiba-tiba datang dan memeluk kaki Huge. Wajahnya cantik sekali dengan kedua pipi tembam yang memerah dan menggemaskan. Iris mata birunya menatapku polos. Wajahnya tak terhiaskan senyuman karena dia malu dan memilih menyembunyikan wajahnya dibalik paha Huge.

Aku refleks tersenyum melihat anak perempuan seperti itu. Kembali mengingatkan aku akan masa kecilku.

Huge sendiri awalnya tersentak kaget saat merasa sebuah lengan memeluk kakinya lantas menunduk ke bawah dan mendapati keberadaan anak kecil itu.

"Thalia, masuklah dan bersama ibu. Ayah di sini kedatangan tamu." Kata Huge pelan dan lembut penuh pengertian sambil mengusap puncak kepala Thalia.

Ternyata dia anaknya Huge.

Thalia diam, tapi pandangannya terus menatapku. Aku sampai menaikkan kedua alis dan melambaikan tangan--berusaha akrab dan terlihat tidak menyeramkan dalam balutan pakaian serba hitam seperti ini. Tapi, detik selanjutnya Thalia langsung berlari masuk kembali ke dalam rumah dan hilang dari pandanganku.

Huge tertawa canggung. "Maaf sekali lagi. Itu putri kecilku," Huge menatapku. "Sepertinya dia melihat sesuatu darimu, nona Length."

Apa yang dia lihat?

Aku mengernyit bingung. Aku mengatupkan bibirku, bingung hendak berkata apa. Tetapi, Huge langsung meminta kami bertiga untuk masuk ke dalam ruang tamunya yang serba sederhana dan kental akan aura pedesaan. Kami bertiga duduk di sofa, namun belum lama kami duduk, tiba-tiba Mrs. Albert meminta maaf karena hendak meninggalkanku dengan Kipps di perjalanan terakhir ini. Beliau baru melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 3 siang dan katanya ia harus segera pulang, karena ada urusan.

Lou Length: The White WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang