C H A P T E R 12

344 61 2
                                    

Awan kelabu menutupi langit di siang hari ini. Awan kelabu yang disertai angin berhembus lembut itu benar-benar mendukung suasana berkabung pada hari ini. Langit yang sesekali bergemuruh kecil itu seolah mengisyaratkan kalau dunia pun ikut bersedih atas kematian Riley.

Isakan tangis nyonya Yvette tak berhenti dan kini berusaha dia redam menggunakan sapu tangan yang ditempelkan pada bibirnya untuk membungkam. Sementara Bingley menangis sesenggukan di dalam dekapan sang ayah. Mr. Canavan terlihat begitu terpukul dengan kematian putra kecilnya sehingga dia hanya diam dan menatapi peti mati perak yang perlahan-lahan mulai di masukkan ke dalam lubang kubur.

Ada beberapa kerabat Mr. Canavan atau mungkin kerabat dan teman dekat nyonya Yvette yang ikut berkabung. Mereka berdiri mengelilingi proses pemakaman ini dengan aku dan Leo yang berdiri paling depan. Tepat di samping makam yang saat ini sudah mulai di tutupi menggunakan tanah.

Riley dikubur di pekarangan belakang rumah Mr. Canavan yang luas dan kosong.

Sedangkan aku? Aku hanya bisa menangis dalam diam. Air mataku mengalir membasahi pipiku tanpa mau berhenti. Aku bahkan kehilangan isakan tangisku tepat setelah melihat Riley yang tadi pagi terbujur kaku di atas tempat tidur. Leo merengkuh pundakku saat aku menunduk dalam dan menangis pilu sembari membungkam bibirku dengan kedua tangan. Aku merasa begitu bersalah. Untuk pertama kalinya aku merasa kegagalan yang teramat besar baru saja menimpaku. Aku gagal menyelematkan nyawa seorang anak kecil yang memohon pertolonganku.

Setiap kali aku terpejam, aku tak bisa menyingkirkan ingatanku semalam saat Riley menangis dan berseru meminta tolong kepadaku.

Aku gagal. Aku benar-benar jatuh ke dalam jurang tergelap sepanjang hidupku.

Semua orang berdoa setelah pemakaman Riley selesai, tetapi aku terus memanjatkan doa sembari menangis dalam diam. Dadaku terasa sesak menahan isakan tangis. Sementara Leo semakin mengeratkan rengkuhannya dan sesekali mengusap pundakku.

Ketika aku mengangkat wajah, semua orang berjalan pergi meninggalkan makam Riley. Tak terkecuali Mr. Canavan, Bingley, nyonya Yvette, dan Patrick. Aku melihat raut wajah sedih di sajah semua orang, tapi tidak dengan Patrick yang terlihat biasa saja bahkan ekspresinya tetap sama. Tidak berubah sedikitpun.

Aku bisa mengeluarkan isakan tangisku meskipun secara perlahan dan bertahap. Namun, Leo langsung menarik tubuhku sepenuhnya ke dalam dekapannya yang hangat. Sangat hangat.

"Tenanglah, Lou."

Leo mengusap punggungku, kemudian tangannya naik ke atas untuk mengusap kepalaku. Aku bisa merasakan dagunya yang bertengger di puncak kepalaku tanpa menghentikan aktivitasnya memberikan sentuhan penenang kepadaku.

"Aku gagal." Ucapku lirih dan mengubur wajahku di dada Leo sembari melingkarkan lenganku di pinggangnya. Tanpa kusadari, aku meremas erat mantel hitam bagian belakang Leo dan menangis sejadi-jadinya, "aku gagal menyelamatkannya." Aku menarik kepalaku dari dada Leo dan mendongak untuk menatap wajah serius yang kini ikut menatapku tanpa melepas dekapannya. Aku bisa merasakan bibirku bergetar. Aku kembali terisak dan sulit rasanya untuk mengucapkan kata-kata, "aku gagal, Leo..." lirihku lebih parah lagi.

Leo mengusap puncak kepalaku dengan lembut, kemudian mendaratkan kecupan di kening dan bibirku sekilas. Dua kecupan itu sukses membuatku terdiam sekaligus termangu. Aku berhenti terisak, tetapi air mata masih senantiasa mengalir. Tangan Leo yang mengusap puncak kepalaku kini beralih untuk mengusap air mataku di pipi.

"Aku mohon padamu, Lou. Jangan menangis dan berhenti menyalahkan dirimu sendiri." Ujarnya pelan, lalu dia tersenyum menatapku sendu.

Aku mengerjap satu kali. "Aku gagal."

Lou Length: The White WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang