C H A P T E R 14

320 58 4
                                    

Aku mendorong meja makan usang ini hingga ke tepi dan membuat sebuah ruang luas untukku dapat bergerak bebas menarik celah kecil dari lantai tersebut. Ketika aku menarik celah tersebut, ternyata celah itu membentuk sebuah pintu rahasia berbentuk persegi yang terhubung ke ruang bawah tanah. Padahal aku baru saja membuka pintu tersebut lebar-lebar, tetapi suasana dingin benar-benar mendominasi ruangan di bawah sana. Apa pun yang ada di bawah sana pasti tidaklah bagus.

Hal pertama yang aku lakukan adalah memasukkan kepala terlebih dahulu untuk mengecek keadaan di bawah sana. Gelap gulita. Segera saja aku menarik kembali kepalaku ke permukaan dan bergegas berdiri mengambil lentera tak terpakai yang ada di dekat kompor. Aku menyalakan sumbu lentera, kemudian kembali bersimpuh di dekat pintu persegi tersebut, lalu memasukkan lentera itu ke dalam sana. Aku bisa melihat sebuah ruangan biasa. Ruangan lingkaran, tetapi terdapat tiga buah pintu kayu.

Tidak ada tanda-tanda adanya pengunjung di bawah sini. Hanya suhu yang dingin, tapi tetap saja telingaku tidak mendengar apa pun yang berasal dari bawah sana. Sunyi dan senyap.

Setelah dirasa situasi benar-benar aman, barulah aku menurunkan kedua kakiku terlebih dahulu. Sementara gigiku menggigit gagang besi tipis yang ada pada lentera sembari bergelantungan sesaat dan mendarat dengan mulus. Aku mengembalikan gagang lentera ke dalam genggamanku, lalu aku mulai mengangkat lentera dan mengedarkan cahaya nya ke sekitar ruangan.

Ruangan ini kosong dan berdebu, tapi cukup luas. Lantainya agak berpasir dan dindingnya terbuat dari batu. Banyak sarang laba-laba di setiap jengkal ruangan ini.

Saat ini aku berdiri di tengah-tengah ruangan. Tangan kananku terangkat lagi untuk menerangi tiga pintu kayu yang ada di hadapanku saat ini. Dari mana aku harus memulai. Aku bahkan tak tahu apa yang ada di dalam masing-masing pintu. Aku meraba kantung di pinggangku, tapi tidak ada apa-apa. Kosong. Aku lupa mengambil persediaan kantung bubuk perak.

Bekal ku saat ini hanya rapier.

Aku berdecak. Betapa bodohnya aku saat ini. Semua rencana menjadi berantakan dan tak tertata lagi. Terlalu banyak hal yang tak terduga terjadi di tempat ini. Sementara aku berlomba dengan teka-teki juga waktu.

"Leo?" Aku memanggil nama lelaki yang dari tadi sedang ku cari. Suaraku menggema di penjuru ruangan.

Aku menelan salivaku dengan susah payah. Aku harus mengambil keputusan.

Ada tiga pintu yang sama di hadapanku saat ini. Aku akan mengambil resiko memilih satu pintu yang sangat ku yakini. Yaitu, pintu di tengah.

Aku melangkah maju perlahan-lahan, lalu meraih gagang pintu kayu tersebut dan menariknya pelan. Tidak ada suara sejauh ini. Masih sebuah kesunyian yang semakin lama semakin membuat dada terasa sesak. Sudah bisa dipastikan ini adalah kesunyian yang membuat pikiran kacau sekaligus membuat gila siapa pun yang tidak bisa mengontrolnya.

Kini aku berdiri di ambang pintu. Sendirian. Sementara di dalam sana berupa lorong gelap gulita. Tak ada secercah cahaya yang menerangi. Hanya ada kegelapan.

Tanpa ragu aku melangkah masuk. Berjalan dengan normal layaknya seorang gadis berjalan di tengah taman rindang yang indah. Tangan kananku yang memegang lentera itu ku angkat tinggi-tinggi ke udara agar cahaya nya bisa menyebar ke segala arah. Sejauh ini lorongnya masih aman. Namun, saat aku melangkah lebih masuk ke dalam, telingaku tak sengaja mengangkap sebuah suara. Suara seperti batu kerikil yang di lempar dan menubruk dinding batu. Suaranya singkat dan halus. Aku relfeks berbalik. Suara itu berasal dari belakangku. Aku yakin itu.

Dan terakhir kali aku mendengar suara lemparan kerikil seperti itu berakhir buruk.

Aku menarik gagang rapier sehingga menimbulkan bunyi desingan menggema di ruangan hampa ini. Aku sudah tidak bisa menahan luapan gemas ingin memusnahkannya meskipun aku tahu dia tidak akan musnah kalau aku belum menemukan sumbernya.

Lou Length: The White WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang