"Maaf, permisi. Bolehkah aku...?"
Aku mengangguk dan tersenyum lemas saat Leo membantu membersihkan bekas luka sayatan di pinggangku. Dengan penuh kehati-hatian Leo mengoleskan salep khusus dari dokter. Bahkan dia terpaksa berlutut di sisi tubuhku agar bisa dengan mudahnya mengobati luka ku.
Luka nya sudah tak terlalu perih. Aku rasa sudah benar-benar pulih.
"Luka ini sudah hampir pulih." Ujar Leo sesaat setelah bangkit seusai menyelesaikan aktivitasnya.
Aku menganggukan kepala untuk yang kesekian kalinya, kemudian beralih merapikan baju ku.
"Kau sudah sarapan?" Tanya Leo.
"Sudah."
"Bagus kalau begitu."
"Leo, nanti ada tamu yang akan datang." Ujarku sembari menggulung rambut tinggi-tinggi.
Gerakan tangannya menyusun barang-barang pun mendadak berhenti. "Siapa yang akan datang? Klien?"
"Bukan. Temanku. Kipps."
Leo hanya menganggukan kepalanya samar. Dan aku menganggap hal itu sebagai jawaban.
"Leo."
"Ya?" Balas Leo dengan nada lembut, kemudian setelah dia selesai membereskan obat-obatan, akhirnya lelaki ini mau menghadapku.
"Terima kasih, karena kau sudah merawatku selama dua hari ini." Kata ku pelan dengan perasaan canggung yang memyelimuti. Aku sampai lupa status Leo apa di hidupku saat ini.
Sebagai calon pendamping hidupku.
Aku jadi gamang sendiri kalau membicarakan perihal calon ini. Terdengar menggelikan.
Leo tersenyum singkat menatapku. Tangan kanannya terulur untuk menyingkirkan beberapa helai tipis rambutku dari wajahku yang lolos tak terikat. Aku menelan salivaku dengan susah payah. Perlakuannya yang lembut ini terkadang membuat diriku salah tingkah.
"Kau tak perlu berterima kasih. Itu sudah menjadi tanggung jawabku. Kau tak tahu betapa aku mencemaskan dirimu selama kau berbaring di kasur dan keras kepala tak ingin menginap di rumah sakit." Jawabnya datar dan membuatku meringis kecil.
"Maaf. Hanya saja aku merasa tak perlu berada di rumah sakit terlalu lama."
Leo mengangguk. "Ayo, kita ke ruang tamu. Ada yang ingin kutanyakan kepadamu."
Aku segera mengikuti Leo dari belakang--keluar dari kamar tidurku, kemudian menuruni undakan tangga dan berjalan ke arah ruang tamu.
Aku duduk di sofa yang berseberangan dengan Leo. Leo yang saat ini hanya mengenakan pakaian santai berupa kaos dan celana training itu lebih terlihat segar, namun aura keseriusannya masih saja terpancar meski penampilannya berbeda.
"Ada apa?" Sebelah alisku terangkat. Menunggu pertanyaan yang hendak ia berikan kepadaku.
"Aku ingin tahu pasti apa bakat psikismu, Lou?"
Aku terdiam untuk beberapa saat. Aku menyenderkan punggungku perlahan-lahan dan menghela napas panjang. Sebenarnya aku juga penasaran dengan bakat psikis yang di miliki oleh Leo. Terdengar menarik lewat mulut Patrick beberapa hari yang lalu.
"Kemampuanku sangat langka. Itu yang sering dikatakan oleh orang-orang yang mengenalku. Tak semua orang mengetahui bakat psikisku ini. Tapi, yang mengetahuinya memberikan sebutan kalau bakat psikisku ini spesial." Aku berhenti sejenak memberikan jeda, "orang biasa kebanyakan hanya mampu melihat dan merasakan. Terkadang ada yang hanya melihat, tetapi tidak dapat merasakan dan sebaliknya. Tapi, aku mempunyai semuanya. Aku bisa merasakan, melihat, dan yang paling berbeda adalah dapat mendengar mereka. Suara mereka, keluhan mereka, dan amarah mereka. Aku bisa mendengar semuanya. Suara mereka mampu berputar di kepalaku seperti saat ini kita sedang berbincang. Jadi, aku juga bisa berkomunikasi dengan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lou Length: The White Woman
Misterio / SuspensoMungkin kisahku tak berhenti di situ saja. Ada rintangan lain yang menungguku di masa yang akan datang. Dan masa itu telah datang menghampiriku sejak suatu kejadian terungkap mengenai seorang temanku bernama Kipps. Di tambah lagi adanya berita meng...