C H A P T E R 2

526 77 3
                                    

"Kipps, kenapa kau di sini?"

"Lihat apa yang telah kau perbuat, Lou... wanita itu..."

"Apa? Wanita? Siapa?"

"Dia membawaku! Pergi dari sini sekarang juga!"

Aku terbangun dari tidurku saat suara pengumuman pemberhentian kereta di stasiun akan tiba sepuluh menit lagi. Aku mengusap keningku perlahan-lahan. Sudah berapa lama aku tertidur dengan keadaan kepala tersender di kaca jendela kereta ini. Aku menahan nafas. Mimpi itu tidak seperti mimpi-mimpi sebelumnya. Sangat aneh. Mengapa aku bermimpi Kipps?

Dan ...

... mengapa aku memimpikan Kipps ada di dalam tempat itu? Dunia yang berbeda.

Aku mengernyit lantas menghembuskan nafas panjang. Aku memijat pangkal hidung sembari terpejam. Leherku terasa tegang. Jantungku pun berdegup kencang tak karuan akibat dari mimpi mengerikan itu. Aku benar-benar frustasi.

Aku menelan saliva dengan susah payah sambil berusaha melupakan mimpi mengenai tempat itu yang terus saja berputar di dalam kepalaku. Tempat yang aku datangi dua tahun lalu sangat membekas di hati maupun pikiranku hingga terbawa mimpi.

Aku melirik jam tangan mungil yang melingkar manis di pergelangan tangan kiriku. Jarumnya telah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Aku mengambil sebuah botol kecil berisi obat kapsul berwarna merah maron yang selalu ku konsumsi setiap jam sepuluh pagi. Namun, terkadang setiap mimpi itu datang, aku tetap tidak bisa mengontrolnya. Kadang kala obat ini tidak bekerja dengan semestinya. Tetapi, obat ini mampu menghilangkan rasa stress dan trauma yang ada di dalam diriku sejak kejadian dua tahun lalu.

Kedua mataku memandangi sisi jalanan yang kereta ini tempuh. Pemandangan hamparan rumput hijau nan luas, kini telah tergantikan dengan pagar-pagar besi yang tak terlalu rapat. Menandakan bahwa aku sudah sampai di kota tempat tinggal.

Tepat setelah lonceng berbunyi, kereta ini pun berhenti dengan sangat mulus memasuki area stasiun. Orang-orang mulai menyiapkan diri untuk keluar dari kereta setelah hampir dua jam lamanya berkutat di kursi dengan bokong yang terasa keram. Aku pun tak kalah, dan ikut bersiap. Aku melangkah di barisan paling terakhir untuk turun dari kereta.

"Selamat Datang di Stasiun Hardwont's! Silahkan pergi ke loket untuk konfirmasi penumpang."

"Kereta dengan tujuan ke Downtown Village telah siap. Bagi penumpang yang telah memiliki tiket di persilahkan untuk memasuki kereta."

Suara-suara riuh dari pengumuman yang saling bersahutan itu menyambutku ketika aku kembali menginjakkan kaki di stasiun ini. Dua bulan adalah waktu yang cukup lama bagiku meninggalkan tempat ini. Suara riuh para penumpang yang hendak naik kereta tujuan pun tak kalah dengan suara pengumuman lewat toak tadi. Mungkin karena ini adalah weekend, mereka jadi sibuk hendak berlibur ke desa.

Padahal keadaan wabah hantu tidaklah membaik. Namun, tidak juga bertambah buruk. Aktivitas juga harus di lakukan pada siang hari dan tidak ada yang berani beraktivitas di malam hari--tepat setelah matahari terbenam. Hanya para pekerja sepertiku saja yang berkeliaran di malam hari.

Aku kembali menjinjing koper persegi berukuran minimalis milikku sembari melangkah ke arah loket yang berdekatan dengan area para pengantar dan penjemput. Begitu banyak orang-orang yang mengantarkan kerabat mereka yang hendak pergi menggunakan kereta api. Diam-diam aku tersenyum samar, berharap ada seseorang yang menungguku.

Tapi, ya sudahlah, tidak mungkin ada yang menungguku.

"Nama?"

"Louissa Length."

"Umur?"

"22 tahun."

Wanita paruh baya berwajah keras dan kusut itu yang sedang memeriksa surat-surat konfirmasi keberangkatan ku pun mengangguk, "dari Downtown Village?"

Aku mengangguk, "ya."

"Ini dia. Kau sudah terkonfirmasi dan bisa pergi."

"Terima kasih," aku tersenyum sekilas, kemudian berbalik menuju ke arah pagar pembatas yang membatasi area loket dengan pengantar dan penjemput, karena di sanalah jalan keluarnya.

Dan saat aku sibuk membaca kertas konfirmasi, tiba-tiba langkahku terhenti tepat ketika aku mendongakkan kepalaku menatap lurus ke depan.

Seseorang berdiri hanya beberapa langkah di depanku. Dia seorang pemuda jangkung yang menutupi semua area wajahnya menggunakan se-buket bunga mawar. Tetapi, aku tahu siapa dia meski pada awalnya aku sempat menelengkan kepala dan menatapnya dengan tatapan aneh.

Senyumku mengembang perlahan-lahan. Terlebih lagi ketika ia menurunkan buket bunga itu dan tersenyum menatap kedatanganku.

Dia melangkah maju dan berdiri di hadapanku serta menghapus jarak di antara kami.

"Kau sedang apa di sini?" Tanyaku. Mungkin ini terlalu polos dan naif.

Dia Kipps. Seorang pemuda yang sudah bersamaku sejak lama sekali. Kami berteman cukup lama dan menjadi rekan kerja, meskipun sesekali aku menghilang karena pekerjaan dan membuatnya khawatir setengah mati.

"Menurutmu?" Kipps mengulum senyum, kemudian pandangannya beralih ke buket bunga yang masih di dalam genggaman kedua tangannya, "bagaimana menurutmu? Apa ini bagus? Kau tahu tidak, buket bunga ini untuk seorang gadis yang ku tunggu-tunggu di sini sedari tadi." Bisiknya.

Aku tertawa pelan, "kau seharusnya tidak tahu aku--"

"Oh, tentu saja aku tahu. Kau pergi ke Downtown Village tanpa sepengetahuanku dan tak memberitahukan kapan kau pulang. Aku bahkan rela bertanya kepada Ocean dan mengaku salah, karena mengatakan aku rela melakukan apa saja agar bisa memperoleh informasi darinya tentang dirimu," Kipps menghembuskan nafas, dia memutar bola matanya merasa jenuh. Aku rasa, apa pun yang di minta Ocean benar-benar membuat seorang Kipps bekerja keras, "alhasil dia pun memintaku untuk memotong rumput belakang rumahnya! Tapi, tetap saja dia memberikan informasi tentang kau. Dan di sinilah aku berada. Kau datang tepat waktu," Kipps tersenyum hangat. Tatapan matanya memperlihatkan betapa bahagianya dirinya bertemu denganku.

Aku tertawa dan menarik pundaknya menggunakan satu tanganku yang tak sedang menjinjing tas, "peluk aku kalau begitu."

Kipps tentu saja tidak menolaknya dan memilih untuk memelukku lebih erat daripada biasanya, "harus berapa kali ku katakan, Lou. Jangan pergi tanpa sepengetahuanku. Kita adalah tim."

Aku melepas pelukan kami, kemudian menghela nafas panjang. Aku tak bisa berhenti tersenyum untuk saat ini. Tatapan mataku pun tak bisa berhenti menelusuri setiap inci wajahnya yang diam-diam ku rindukan. Namun, saat memori tentang mimpi tadi terlintas kembali di dalam kepalaku, senyumanku perlahan-lahan memudar. Ada gejolak rasa aneh yang menyelubungi hatiku.

Kipps sepertinya menyadari perubahan mimik wajahku dan dia pun mengernyit, "hei, ada apa? Apa kau baik-baik saja?"

Aku mengerjap dan menggelengkan kepalaku cepat. "Aku baik-baik saja. Ayo, kita pulang."

"Baiklah. Jadi, bagaimana, apa kau suka buket bunga ini?"

"Rupanya Kipps sudah dewasa dan bertambah konyol!"

Ya, begitulah. Semenjak kejadian dua tahun yang lalu, begitu banyak yang telah berubah. Segala keadaan berubah. Termasuk aku dan Kipps. Ada sesuatu di dalam diri kami yang berubah menjadi lebih baik dan lebih tertata. Kipps yang dulunya pendiam, wajahnya kaku, dan dingin sekarang berubah drastis menjadi sosok Kipps yang ramah senyum.

Aku menyukai perubahan ini.

Semoga saja perubahan ini mengantarkan aku dan Kipps ke tempat yang selalu memiliki jalan keluar.

<<<>>>

Y

AAAYYY UPDATEEE!!!

Vote dan komennya makasiiii...

Sayang kalian!!!

With love,

Mrs. Black

Lou Length: The White WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang