"Lou."
Aku menengok ke asal suara yang berasal dari Mrs. Joly. Aku berdiri di pekarangan depan rumah, menikmati semilir angin malam disertai kabut yang mulai menebal. Tidak ada rasa takut sedikitpun di dalam diriku. Hanya ada pikiran yang bergelut penuh tanya, akankah aku bertemu dengan Leo lagi?
Malam ini aku akan pergi ke titik tempat dimana Leo berpijak sebelumnya bersama Ocean. Dan aku juga ingin mendatangi langsung tempat dimana aku bisa menemukan Marianne.
"Ya, Mrs. Joly?"
"Apa kau baik-baik saja?"
Aku tersenyum getir. "Ya, aku akan baik-baik saja," pandanganku kembali lurus ke depan. Menatap hal yang tidak ada.
Mrs. Joly menyentuh pundakku, menggenggamnya erat sampai aku menoleh kembali untuk menatapnya.
"Aku tahu ini berat untukmu. Kehilangan seorang teman. Apa hubungan kalian sangat dekat?"
Aku tersenyum getir. Sekarang aku berharap, seandainya aku dan Leo memang benar-benar sebatas teman tanpa perasaan--mungkin ini semua tak akan terjadi. "Tidak terlalu, Mrs. Joly. Lagipula dia putra dari sahabat ayahku yang tinggal berbeda negara dengan kita. Dia tamu di rumahku, tetapi membawa sebuah pesan."
Mrs. Joly terdiam. Kemudian, dia berkata, "apa aku boleh tahu pesan apa yang dia bawa?" Tanya nya.
Aku mengusap wajahku sekilas, kemudian menghela napas dan menatap mata Mrs. Joly lekat-lekat. "Pesan dari ayahnya kalau aku dan dia akan segera menikah."
Wajah Mrs. Joly pias seketika. Aku menatap lurus ke depan, menghindari tatapan bingung yang terpancar dari mata tua nan indah milik Mrs. Joly.
"Apa kalian sudah mempunyai perasaan? Saling membalas perasaan?"
Aku menelan salivaku dengan susah payah. Tangan kananku mengusap sudut mata kiriku yang hendak mengeluarkan air mata. "Aku..." aku menggantungkan ucapanku sejenak untuk menarik napas, "...perasaanku masih terbagi. Sementara Leo--kurasa dia," aku kembali menatap Mrs. Joly ketika aku merasakan kalau dadaku terasa sesak menahan isak tangis. Aku meringis sakit, "aku rasa dia mencintaiku, Mrs. Joly."
Mrs. Joly refleks membungkam bibirnya dengan tangan kanannya sendiri. Kedua matanya terbelalak lebar. Aku tahu. Aku tahu siapa pun yang akan mendengar ini akan terkejut. Korban yang nyata berada di depannya, menceritakan kebenaran yang terjadi sehingga masalah ini datang mengunjungi dan menyisakan luka.
Dan tanpa kusadari, air mata kembali mengalir. Aku tak sanggup menahan dorongan agar tidak menangis. Bibirku bergetar sementara kedua lenganku memeluk tubuhku sendiri. Aku menunduk, mulai mengeluarkan suara cicit kecil disertai napas yang terputus-putus. Mrs. Joly menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Dia mengusap rambutku seperti anaknya sendiri. Aku dapat merasakan kehangatan sehangat pelukan ibu--dari orang yang baru kukenal seperti Mrs. Joly.
"Ini salahku, Mrs. Joly." Lirihku di tengah isakan tangisku. Aku berjanji untuk tidak menangis dan merasa lemah lagi. Aku juga seharusnya tidak boleh menyalahkan diriku lagi, tetapi suasana membuatku kembali merasakan beban berat yang bertubi-tubi. Aku rasa, tidak ada salahnya menangis lagi. Karena, yang terpenting adalah diriku tidak boleh melemah hanya karena tangisan.
"Tidak, Nak. Jangan berkata seperti itu." Mrs. Joly berbisik, "jika masih ada harapan, yakinlah kau pasti menemukan Leo."
Aku menahan napas. Berusaha menahan isak tangisku, namun rupanya kegiatan ini membuat panca inderaku mendadak tajam. Kekuatan psikisku mulai bekerja dengan sendirinya, karena aku mendengar kesunyian yang amat-sangat dalam. Padahal samar-samar aku mendengar suara Mrs. Joly yang menggema di telingaku. Persis seperti ketika diriku berada di dalam air. Aku membuka kedua mata lebar-lebar. Separuh wajahku masih menelusup di pundak Mrs. Joly, tetapi bola mataku bergerak-gerak waspada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lou Length: The White Woman
Misteri / ThrillerMungkin kisahku tak berhenti di situ saja. Ada rintangan lain yang menungguku di masa yang akan datang. Dan masa itu telah datang menghampiriku sejak suatu kejadian terungkap mengenai seorang temanku bernama Kipps. Di tambah lagi adanya berita meng...