"Jadi, siapa orang-orang tadi?" Pertanyaan pertama yang Leo lontarkan saat kami baru saja tiba di salah satu restoran.
Tentu saja. Leo datang ke rumahku tadi pagi bukan untuk membicarakan hal lain, tetapi mengajakku keluar rumah tepat setelah Mr. Canavan dan Nyonya Yvette pulang. Pukul dua belas tepat kami keluar rumah, Leo mengajakku jalan-jalan. Dia memintaku menunjukkan tempat-tempat bersejarah di kota ini layaknya pemandu tur. Lalu, Leo mengajakku ke perpustakaan, makan es krim, pie buah, dan berakhir di restoran ini tepat matahari sudah tenggelam.
Aku menghela nafas. "Mereka klien baru ku."
Leo menganggukkan kepalanya samar. Kedua tangannya naik ke atas meja dan saling bertaut. "Berapa kali kau mendapatkan misi dalam sehari?"
Aku berpikir. "Mungkin sekitar dua misi paling sedikit."
"Lalu, paling banyak berapa misi?"
"Empat. Aku tidak menerima lebih dari lima misi yang harus aku kerjakan dalam waktu satu minggu," aku tersenyum tipis.
Leo menatapku cukup lama tanpa berkata apa-apa. Membuatku merasa harus memalingkan tatapanku sejenak.
"Jadi, kau tinggal sendirian?" Leo bertanya lagi, "kau tidak memiliki kerabat lain di kota ini?"
Aku menggelengkan kepalaku. "Aku tinggal sendirian. Tidak ada kerabat lain. Paman dan bibiku juga sudah meninggal. Ibu dan ayahku tidak memiliki saudara yang banyak. Rata-rata pekerjaan mereka sama seperti keluargaku."
Leo mengangguk-anggukan kepalanya sembari menyenderkan punggungnya ke senderan kursi. "Pekerjaan ini berbahaya. Mengancam nyawa. Apa kau tidak ada pikiran untuk berhenti dan mencari pekerjaan lain?"
"Sama sekali tidak," aku tersenyum penuh arti. "Aku suka pekerjaan ini. Pekerjaan bagus dimana aku bisa bebas menggunakan bakatku."
"Di Amerika, wabah hantu sudah berkurang," Leo menatap keluar jendela kaca besar trasparan yang menyajikan pemandangan jalan raya di malam hari sebelum jam malam di berlakukan. "Jasa kami sudah tidak terlalu di perlukan lagi."
Aku mengangguk paham. "Ya, negara kalian beruntung. Negaraku masih di serang wabah hantu. Terkadang ada yang terjadi besar-besaran dan membahayakan distrik lain."
"Menurutku kau harus berhenti bekerja seperti ini, Lou."
Mendadak hatiku bergetar ketika mendengar dia menyebut langsung nama panggilanku. Ada gelenyar aneh yang membuat bokongku terasa panas duduk di sini padahal belum 30 menit.
"Kenapa?"
"Berbahaya."
"Tapi, ayahku sudah melatihku."
Leo mengangguk dengan wajahnya yang datar. Sial. Dia sepertinya tidak ingin bermain-main. "Aku tahu. Ayahmu juga banyak mengajarkanku tentang itu semua."
Aku tertegun mendengarnya. Aku menahan nafas untuk beberapa saat. "Tapi, aku menyukai pekerjaan ini, Leo."
Leo kembali memajukan tubuhnya dan meletakkan kedua lengannya di atas. "Aku mengerti. Tapi, sebagai calon suami mu tentu saja aku tidak mau hal yang buruk terjadi padamu."
Aku terenyak. Benar-benar terenyak. Aku nyaris tak bisa berkata apa-apa. Rahangku bisa saja jatuh ke atas meja kalau aku tak sanggup menahan bibirku agar tetap rapat. Tatapanku menatap ke arah matanya yang irisnya berwarna biru indah. Dia terlihat sangat serius. Tak ada raut wajah konyol darinya yang menandakan ketidakseriusannya terhadap perkataan yang baru saja keluar dari mulutnya.
Aku tidak bisa menjawab perkataannya barusan. Dan untung saja pelayan datang menghampiri meja kami setelah keheningan hampir lima detik lamanya.
Kali ini aku bebas dari situasi canggung yang terus di buat oleh Leo.
![](https://img.wattpad.com/cover/178829644-288-k855365.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Lou Length: The White Woman
Mistério / SuspenseMungkin kisahku tak berhenti di situ saja. Ada rintangan lain yang menungguku di masa yang akan datang. Dan masa itu telah datang menghampiriku sejak suatu kejadian terungkap mengenai seorang temanku bernama Kipps. Di tambah lagi adanya berita meng...