C H A P T E R 15

337 64 5
                                    

Tepat setelah Leo membuka pintu besi yang ada di hadapannya--terpaan amarah langsung melesat ke arahku seolah menyelimutiku layaknya sebuah kapsul. Menekan kekuatan psikisku sampai rasanya sulit untukku mengendalikan amarah si kakek tua. Aku benar-benar sukses membuatnya mengamuk sampai dia menunggu kedatanganku di tengah-tengah lorong.

Jauh di depan sana ia melayang, berpendar penuh amarah. Plasma nya menjilat-jilat ke segala arah. Tatapan rongga matanya yang suram nan gelap itu langsung terarah padaku. Aku bisa merasakan kalau saat ini dia melotot ingin menelanku bulat-bulat. Erangan penuh amarah terdengar begitu dia merasakan aura kedatanganku menuju ke arahnya bersama dengan Leo.

Leo meminta rapier ku sebagai alat menakuti si kakek tua. Namun, sepertinya sosok kakek tua ini terlihat melawan dan tak gentar. Dia menginginkan diriku, karena aku bisa mendengar betapa marahnya dia saat ini. Leo mengibaskan ujung rapier dan memotong salah satu tentakel plasma. Sontak saja si kakek tua mendesis dan menjauh beberapa langkah dari kami berdua.

Sementara aku tetap mengikuti instruksi dari Leo yang menyuruhku terus berdiri di belakangnya. Menempel di punggungnya, namun tak membuatnya susah untuk melangkah.

Sementara Leo terlihat sangat sibuk membuat pola-pola menarik yang tak pernah kulihat di ajarkan di kota tempat tinggalku. Amerika memanglah sangat dahsyat dalam pengajaran sebuah rapier yang padahal bukan senjata asli khas mereka. Senjata mereka para pembasmi hantu di Amerika adalah pedang tipis yang ringan dan murni terbuat dari perak asli. Aku sedikit heran mengapa Leo bisa menguasai semua itu. Atau mungkin dia belajar dari ayahnya dan ayahku.

Selihai itu dan semulus gerakan Kipps--cara Leo menggerakkan rapier membentuk pola unik yang mampu membuat si kakek tua menghimpit dirinya sendiri ke dinding sehingga aku dan Leo bisa perlahan-lahan berjalan melewatinya dari sisi lain.

Ini pertama kalinya aku melihat Leo memainkan rapier secara jelas.

"Lou."

"Ya?"

"Saat aku melempar kantung berisi bubuk perak ini, kita harus berlari sekencang mungkin. Kau mengerti?" Bisik Leo.

Aku mengangguk. "Iya."

Leo mengeluarkan kantung berisi bubuk perak, lalu dalam sekejap Leo melemparkan kantung kecil tersebut ke arah si kakek tua dan menimbulkan percikan-percikan di iringi jeritan si kakek tua yang kesakitan.

Leo menarik tanganku dan kami berdua berlari sekencang mungkin sebelum efek dari bubuk perak itu menghilang. Dan akhirnya kami berdua berhasil sampai di ruangan berbentuk lingkaran tadi. Aku segera menutup pintunya rapat-rapat.

"Leo, aku pikir lebih baik kita berpencar." Ujarku yang nampak mengincar pintu sebelah kiri.

"Apa?!"

Aku menolehkan kepala ke arah Leo yang berseru tak terima dan terkejut.

"Kau kenapa? Itu rencana yang lebih bagus." Ucapku lagi menimpali.

"Tidak!" Leo menolaknya dengan keras, "tidak akan kubiarkan itu terjadi. Satu prioritasku saat ini adalah dirimu. Bagaimana jika sesuatu terjadi dan kau yang mengalaminya?! Aku tidak akan mengambil resiko."

Aku tersenyum hangat. Aku tahu Leo khawatir. Tapi, dia tak bisa menahanku mengambil langkah ini. Karena, setiap langkah yang akan di ambil pasti mengandung resiko dalam skala yang berbeda.

"Aku memilih jalan ini. Aku pintu kiri sedangkan kau pintu kanan." Ucapku lagi dengan ekspresi tenang yang luar biasa.

Genggaman tangan Leo mengerat. Tatapannya menatapku lekat-lekat.

Lou Length: The White WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang