C H A P T E R 35

309 54 4
                                    

Aku memejamkan kedua mataku perlahan-lahan. Dengan gerakan pelan aku duduk di lantai yang kotor dan berdebu. Aku tidak peduli lagi. Jika ini adalah waktu yang tepat untuk kematianku meski dengan cara sekonyol ini, aku harap arwahku tidak bergentayangan dan tidak dimanfaatkan oleh manusia-manusia tak bertanggung jawab seperti Cody. Aku hanya ingin mati dengan tenang dan bertemu dengan keluargaku.

Aku meraup wajahku seraya menunduk. Menempelkan kedua telapak tanganku untuk menutup wajahku, tetapi aku tidak membuka kedua mataku. Semua terasa gelap dan membuatku sedikit tenang dengan cara seperti ini. Gelap. Setelah puas meletakkan telapak tanganku di wajahku, aku menggeser kedua tanganku untuk menutup telinga, sehingga aku bisa menyamarkan suara-suara mereka yang semakin jelas terdengar dan juga semakin dekat.

Maafkan aku, Kipps. Ibu, Ayah, Lucinda. Maafkan aku. Terutama kepada Leo dan Ocean yang harus membereskan sisa-sisa kekacauan ini.

Tapi, di detik selanjutnya aku mendadak seperti tenggelam ke dalam lautan keheningan. Suara-suara yang memenuhi rongga telingaku itu menghilang secara tiba-tiba. Aku mengernyit dalam posisi kedua mata yang masih terpejam dan kedua telapak tanganku masih setia menempel di kedua telingaku. Aku sampai mengira sekuat itu kah telapak tanganku menekan telingaku sehingga bunyi apa pun tak terdengar lagi.

Aku menggigit bibir. Perlahan-lahan aku membuka kedua mataku dan dengan perlahan pula aku menurunkan kedua tanganku dari telinga.

Ya, ini benar-benar sunyi. Aku bahkan masih terheran-heran mengapa bisa suasana menjadi sesunyi ini dalam waktu yang singkat seolah para pengunjung itu musnah begitu saja di tangan--

"Inikah aroma keputusasaan?"

Aku mendengar sesuatu sedang mengendus di sampingku.

"Wow, aroma nya unik sekali, ya. Rupanya seperti ini jadinya jika seorang Louissa mengalami suatu peristiwa yang dinamakan 'putus asa'."

Suara itu terus berkicau seraya membisikkan kata putus asa berkali-kali secara perlahan sehingga terasa menggema di telingaku dan membuatku langsung meliriknya dengan tatapan tajam.

Dan lihat? Kalian bisa menebak siapa yang berani mengejekku seperti itu.

Ketika aku meliriknya dengan tatapan seolah ingin menyiramnya dengan air garam pun Evans masih bisa tersenyum lebar tak wajar sekaligus menyeramkan. Dia berjongkok di sampingku. Tepat di sampingku. Dengan posisi kedua lengan terlipat di atas lututnya. Sebelah alisnya terangkat, senyum lebarnya menjelma menjadi senyuman miring yang menjengkelkan. "Lihat? Kau lemah. Baru terjebak dalam situasi seperti ini saja kau sudah punya pemikiran untuk bergabung dengan kami di alam baka," Evans mendengus meremehkan. "Kau gila, Louissa. Benar-benar gila."

Aku memutar bola mataku merasa jengah dan segera bangkit berdiri. Aku membersihkan debu dan kotoran sembari hendak memulai omelanku terhadap Evans. "Kau dari mana saja memangnya, huh? Lagipula tidak ada kesempatan untukku melawan mereka sebanyak itu dengan tangan kosong."

"Yeah, sorry, aku memang sedikit terlambat." Evans menjawab dengan nada penuh rasa sesal. Dan aku merasa senang kalau dia memang menyesal atas keterlambatannya. "Atau lebih tepatnya, aku menonton kepasrahanmu terlebih dahulu. Menonton setiap adegan yang kau lakukan daaan... menikmatinya! Tentu saja. Aku bertaruh kalau kau akan pasrah di tengah situasi seperti itu. Dan, ya! Kau memang pasrah. Bahkan putus asa."

Setelah mengucapkan kalimat sialan itu Evans tertawa terbahak-bahak. Oke, aku yang menyesal sekarang karena merasa sedikit senang ketika mendengar bualan darinya yang aku pikir memang benar-benar menyesal atas keterlambatannya. Ya aku tahu, aku memang bodoh di depan tipe tiga seperti Evans.

Menjengkelkan.

Sejujurnya aku juga lumayan kagum, karena dia berhasil menyingkirkan begitu banyak hantu tipe dua dalam waktu yang amat-sangat singkat.

Lou Length: The White WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang