Aku bisa mendengar Mandy mendengus kesal sebelum berkata, "Iya, ini gue udah bawa alat tempur buat mandi di kantor.""Ya udah buruan deh. Banyak kerjaan nih buat presentasi laporan ke bos minggu depan," ujarku.
"Ini gue juga udah naik ojek biar cepet sampe. Lo telepon Bu Sur dulu deh sana. Jangan bikin jantung gue lepas kalau sampe dia nelepon gue lagi."
"Iya, iya."
Aku meletakan gagang telepon kantor dan segera menempelkan ponsel ke telinga. Nada sambung terdengar beberapa kali sebelum seseorang menjawab.
"Halo. Tania, kamu sedang sibuk?" tanya Bu Surhani di seberang telepon.
"Enggak, Bu. Tadi saya lupa menyalakan HP. Ada apa, Bu?"
"Itu tadi saya kirim angka kenaikan gaji tim kamu untuk tahun ini, tolong di-review ya. Saya mau denger pendapat kamu segera."
"Oh, baik, Bu."
Mendengar tentang kenaikan gaji sudah pasti menbuatku bersemangat. Walaupun aku kemungkinan nggak akan dapat kenaikan gaji, karena baru bergabung di sini enam bulan lalu, tapi kenaikan gaji timku tentu akan berpengaruh bagi stabilitas pekerjaan kami. Plus, sesungguhnya aku juga merasa bahwa kami perlu tambahan beberapa personel baru. Mungkin aku bisa membicarakan tentang itu pada para bos di presentasi laporan kinerja divisiku minggu depan. Sementara ini sebaiknya aku meneliti dokumen yang dikirimkan oleh Bu Surhani agar dapat memberi pendapat yang diharapkannya.
Aku mengunduh dokumen yang tadi disebut-sebut oleh Bu Surhani dan menelitinya. Angka-angka yang tercantum di sana cukup fantastis. NRA Group tentu tidak pernah main-main saat memberikan upah dan fasilitas bagi para karyawannya. Terbukti aku selalu merasa nyaman dengan apapun yang ditawarkan perusahaan tanpa perlu tawar-menawar alot hanya demi angka yang tercantum di slip gajiku setiap bulan.
Ketika aku sedang menulis balasan email dari Bu Surhani, kantor mendadak diramaikan dengan suara-suara heboh di depan pintu ruanganku. Tak lama kemudan, dua mahluk muncul dari balik pintu sambil berdebat. Mandy dengan piyama dan rambut yang acak-acakannya menagih pekerjaan yang dijanjikan Gandi selesai kemarin. Sedangkan Gandi, anak desain, mengatakan bahwa komputernya freeze dan IT baru akan datang hari ini untuk memperbaikinya.
"Udah... udah jangan berisik!" omelku.
"Sana lo!" Mandy mendorong Gandi menjauh dari mejaku.
"Sarap!" ejek Gandi sambil berjalan menuju mejanya di sebelah meja Ario.
"Eh, Tan... Lo udah telepon Bu Sur, kan?" tanya Mandy seraya meletakan tas ransel ke atas meja.
"Udah," sahutku.
"Apa katanya?"
"Katanya gaji elo mulai bulan depan dipotong setengah karena lo sering makan gaji buta dan selalu dateng siang."
Terdengar tawa dari arah Ario dan Gandi.
"Diem lo berdua!" hardik Mandy sebelum kembali menatapku. "Serius nih gue."
"Gue pikir selama ini lo fansnya Armin van Buuren, ternyata udah ganti ngefans sama Serius?" selorohku.
"Ih, amit-amit!" Bibir Mandy mengerucut, membuat wajahnya terlihat konyol.
"Gue mau kerja dulu, lo jangan banyak tanya. Mendingan lo mandi gih. Nanti abis mandi, lo beliin gue makan siang biar gue enak ngirim review kenaikan gaji lo ke Bu Sur," ucapku.
"Berapa persen Kak kenaikan gaji tahun ini?" tanya Ario.
"Gaji gue naik juga kan, Kak?" sambung Gandi.
"Udah jangan pada berisik. Pokoknya seminggu ini lo pada gantian aja traktir gue makan, biar minggu depan gue bisa kipas-kipasin para bos supaya naiknya agak banyak."
"Oke, gue mandi! Lo sebut aja mau makan siang apa," sambar Mandy.
"Nah, yang begini-gini nih gue demen," ucapku.
Tak menunggu lama, Mandy segera membongkar tas, mengeluarkan handuk, baju ganti, dan alat perangnya. Kemudian langsung menghilang bersamaan dengan bunyi berdebam pintu kamar mandi.
Mandy adalah orang pertama yang dikenalkan padaku saat datang ke Exhale. Sejak hari pertama aku kerja di sini enam bulan yang lalu, dia menjadi bawahan sekaligus partner in crime-ku di tempat ini. Perempuan itu merupakan salah satu senior PR yang telah bekerja di sini cukup lama. Dari cerita yang kudengar, Mandy tadinya bekerja di salah satu EO yang merupakan rekanan Exhale. Jadi sudah tentu Mandy tahu seluk beluk Exhale lebih baik dibandingkan aku. Darinya pula aku banyak belajar tentang regulasi event yang diadakan oleh Exhale setiap harinya. Mandy pula yang mengenalkanku pada para EO, DJ, dan tamu-tamu VIP yang sering datang untuk berpesta di sini.
Meski memiliki perangai yang agak ganas, sebenarnya Mandy adalah perempuan yang sangat supel dan memiliki banyak penggemar. Dengan badan curvy-nya yang terlampau seksi itu, Mandy juga kerap menjadi api dalam pesta-pesta di Exhale. Sulit rasanya membayangkan Exhale tanpa keberadaannya. Karena meski suka berpesta, tapi aku bukan tipe orang yang bisa dengan mudah membaur dengan orang-orang tipsy dan mabuk tanpa kehilangan kendali.
Berbeda dari Mandy yang dalam nadinya mengalir darah Dewi Pesta, aku adalah murni seorang corporate public relations yang lebih banyak memikirkan strategi demi meningkatkan publikasi dan pencapaian-pencapaian lain. Karena itulah sebenarnya aku tidak terlalu sering berada di kelab pada malam hari. Paling hanya dua hingga tiga kali seminggu aku akan bekerja hingga lewat tengah malam demi merasakan atmosfir pesta milik Exhale, memastikan event akhir minggu berjalan dengan sempurna, atau menjamu tamu VIP. Sebagai PR kelab malam, tentu saja aku tetap perlu berada di tengah keramaian pesta sesekali. Namun, pekerjaanku di siang hari juga tak kalah pentingnya dari keramaian pesta-pesta Exhale di malam hari.
---
Music Video: New Rules by Dua Lipa
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanya Tania [TERBIT]
Literatura Feminina[SUDAH DITERBITKAN OLEH PENERBIT KATA DEPAN] Menjadi Public Relations Officer memang mimpi Tania sejak kuliah dulu. Kini, setelah lima tahun bekerja di head office NRA Group, sebuah tawaran menggoda datang untuk menjadi head of PR department di Exha...