7 -- Hectic

25.1K 2K 51
                                    

Aku menyerah! Berdansa bersama Will justru membuat perasaanku semakin tak keruan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Aku menyerah! Berdansa bersama Will justru membuat perasaanku semakin tak keruan. Aku bukan anak kecil yang baru kehilangan balon hijau, seharusnya aku tidak sekacau ini.

"Gue mau minum dulu," ucapku di telinga Wiily sambil menjauhkan tangannya.

"Mau ke mana?" tanya Mandy yang sepertinya memperhatikan gelagatku.

"Minum," sahutku keras-keras demi menyaingi suara musik.

Aku berjalan ke arah bar. Butuh waktu yang cukup lama untuk membelah kerumunan manusia di dance floor dengan tubuhku yang tidak seberapa besar ini. Sayangnya, mencari celah pun agak sulit karena orang-orang sudah terlena dengan larutnya pesta hingga keberadaanku sulit terlihat.

Sebuah tangan kekar melingkar proyektif di pundakku. Kemudian tanggan lainnya menyingkirkan semua penghalang tanpa ragu-ragu. Dalam sekejap aku sudah sampai di depan bar.

"Mau minum apa?" tanya Will.

"Mineral water, Joe," ucapku sambil memberi tanda pada salah satu bartender yang berada di seberang meja bar.

"Bir," imbuh Will.

Joe segera mengambil sebotol air mineral dan menuangkannya ke dalam gelas wine untukku. Kemudian menyiapkan segelas besar bir untuk Will.

"On me," ucapku sebelum Joe sempat menanyakan soal pembayaran minuman Will.

"Wah, kalau tahu ditraktir gue pilih yang lebih mahal," celetuk Will sebelum menenggak birnya.

Aku hanya mengangkat bahu dan berkata, "Anggep aja bagian dari riders lo malam ini."

"Emang nggak apa-apa kalau gue main?" tanya Will. "Nama gue nggak ada di poster."

"Please, jangan suka menghina gue ya. Kalau itu musik gue suruh matiin sekarang, juga pasti bakal dimatiin."

"WOW! Women in charge. Sounds so sexy," godanya.

Aku mengayunkan tangan di depan wajahnya. "Gombalan lo nggak mempan buat gue. Ayo ke belakang DJ booth, biar bisa nge-cut jadwal."

Aku berjalan mendahului Will menuju lorong yang membawa kami ke belakang panggung DJ. Seorang sekuriti yang menjaga lorong mengangguk padaku dan mempersilakan kami masuk. Tempat ini cenderung sepi. Pertama karena ada peredam suara yang membuat tempat ini tidak sebising area luar, dan kedua karena hanya orang-orang tertentu yang dapat mengakses tempat ini.

Biasanya, jika pesta diselenggarakan oleh EO, maka beberapa petugas dari pihak EO akan berserakan di tempat ini, termasuk juga para DJ tamu, MC, dan performer lainnya. Namun, karena malam ini pesta diurus sendiri oleh pihak Exhale, maka tak ada banyak orang yang terlihat di belakang panggung. Hanya Okky yang terlihat sedang duduk di depan pintu menuju DJ booth. Sedangkan para DJ residence yang akan main malam ini tentunya lebih memilih untuk menunggu di ruang loker ataupun ikut berpesta di depan sana sebagai pemanasan.

"Ky," panggilku.

"Oi." Pria itu mengangkat kepala dari ponselnya. "Hey, Man! Apa kabar lo? Lama banget nggak ke sini!"

Okky dan Will berjabat tangan, kemudian berpelukan, dan saling menepuk punggung khas lelaki. Ya nggak mungkin juga mereka cipika-cipiki. Bisa-bisa aku langsung muntah ngeliatnya.

"Jadwal gue padet banget, Man. Udah kayak kerja rodi," sahut Will.

"Tapi lo main kan malem ini?"

"Yoi! Permintaan khusus dari Pak Bos yang lagi ulang tahun."

"Sekarang nih? Biar gue kasih tahu Max." Okky menyebutkan nama DJ residence yang sedang bermain.

"Ah, santai aja, Ky. Gue nggak buru-buru, kok. Biarin aja dulu Max main."

Okky melihat jam tangannya. "Lima belas menitan lagi dia selesai, gue info ke Stardust dulu kalau gitu. Biar dia standby setelah elo. Lo mau main berapa lama?"

"Setengah jam boleh lah," jawabnya. "Gimana?" Kali ini Will mengarahkan pertanyaan itu padaku.

"Terserah. Namanya juga gratisan, jadi bebas aja mau main berapa lama," sahutku.

"Oke! Gue atur dulu sama Stardust."

"Oke, Man. Catch up later," ujar Will sambil kembali menepuk punggung Okky.

Okky berlalu menuju pintu ruang loker karyawan. Seketika itu pula kesunyian menyergap. Bukan karena kelab ini mati lampu, tapi karena kecanggungan yang tiba-tiba hadir di antara aku dan Will. Aku akhirnya memilih untuk menyandarkan tubuh di tembok dan melepaskan heels 10 senti yang sejak pagi menghiasi kakiku. Cantik itu memang menyiksa!

"Ke mana aja?" tanya Will.

"Apanya yang ke mana aja?" Aku balik bertanya.

"Ya, elo. Gue denger-denger sekarang jarang party di luar. Gue juga nggak pernah ngeliat lo di tempat-tempat biasa."

"Kan sekarang gue punya tempat pesta sendiri. Ngapain repot-repot party di luar? Exhale is the best nightclub in town."

"Terakhir gue ajak ketemuan juga nggak bisa," ujarnya.

"Sorry, tapi kerjaan gue belakangan ini lagi hectic banget. Gue butuh segala konsentrasi buat beradaptasi sama kantor baru."

"Yakin bukan karena mau menghindari gue?"

Aku menegakan kepala. Tatapan Will terasa begitu menuntut. Jauh berbeda dari nada suaranya yang terdengar normal.

"Emang lo ngerasa perlu dihindari?" balasku berkilah.

"Lo nyesel?"

"Kenapa lo malah menjawab dengan pertanyaan?"

"Lo yang duluan ngejawab pake pertanyaan," sanggahnya.

Aku menghela napas. Terlalu bingung harus menjawab pertanyaan yang mana lebih dulu. Kupandangi jari-jari kakiku, yang terasa kaku karena penyiksaan yang dialaminya lebih dari 12 jam terakhir, sambil menimbang jawaban seperti apa yang harus aku berikan pada pria di hadapanku ini.

"Lo nyesel?" ulang Will.

"Enggak," jawabku jujur.

"Tapi ngerasa perlu menghindar dari gue?"

"Nggak tahu."

Will mengangkat daguku, memaksa mata kami bertemu. Kemudian tanpa terduga dia menempelkan keningnya di keningku.

"I will be so fucked up if you don't want to be my friend anymore."

"Lo yakin kita masih bisa temenan?" lirihku.

"I will be everything that you want. But please, jangan menghindar dari gue."

Aku melihat bibirnya mengatup sebelum memejamkan mata. Will mengembuskan napas yang terasa hangat menyentuh kulitku. Meski tak menatap wajahnya, aku tahu ada gairah yang ia jaga agar tetap tenang demi pertemanan kami. Namun, bagaimana bila hasratku yang tak terkendali?

Kemudian, alih-alih menjauh agar kobaran itu mereda, aku justru bergerak merapatkan bibirku pada miliknya. Membakar semua yang sejak tadi kami coba kekang. Mengecap manisnya jamuan yang berbulan-bulan begitu kurindukan. Melepaskan kemunafikan. Menghancurkan pagar pertemanan kami demi sesuatu yang belum tentu akan sama indahnya.





---

Music Video: Side to Side by Ariana Grande ft. Nicki Minaj

Tanya Tania [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang