[SUDAH DITERBITKAN OLEH PENERBIT KATA DEPAN]
Menjadi Public Relations Officer memang mimpi Tania sejak kuliah dulu. Kini, setelah lima tahun bekerja di head office NRA Group, sebuah tawaran menggoda datang untuk menjadi head of PR department di Exha...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Temenin gue ke bar, yuk," ajakku pada Mandy yang sedang sibuk berkaca. "Muka lo juga nggak bakalan berubah jadi secantik Sheila walaupun lo ngaca seharian."
"Sialan!" umpat Mandy. "Tapi lo beliin gue minuman ya."
"Gampang, tinggal potong gaji aja."
"Rese lo. Serius nih gue," ucap Mandy.
"Iya, gue traktir. Buruan deh."
Mandy mengangkat bokongnya dari kursi dan segera menggandengku menuju pintu akses kantor menuju backstage. Lampu di dalam Exhale menyala cukup terang yang merupakan sebuah tanda bahwa tak ada pesta malam hari ini. Lampu-lampu di Exhale memang hanya menyala saat kelab tidak beroperasi. Biasanya sejak kelab tutup hingga persiapan sebelum kelab buka kembali jam lima sore seluruh lampu justru menyala terang benderang. Kami juga sering menggunakan salah satu sofa kelab untuk meeting di siang hari.
Aku masuk ke belakang bar dan mengambil salah satu botol martini yang terpajang di rak. Selayaknya orang yang sudah bekerja di tempat ini lebih dari setengah tahun, aku tahu di mana barang-barang disimpan. Aku membuka lemari pendingin yang khusus digunakan untuk menyimpan gelas dan mengambil dua buah gelas dengan bibir lebar yang umum digunakan oleh semua bartender di seluruh dunia untuk menyajikan cocktail, dan tentu saja martini.
"On me," ucapku sambil menuangkan martini ke gelas dan memberikannya pada Mandy.
"Thanks," ucapnya. "Lo lagi pengen mabok apa gimana?" lanjutnya bertanya.
"Enggak. Cuma pengen ngobrol sama elo tanpa kedengeran yang lain," jawabku.
"Emang ada apa sih? Sejak balik dari Polda muka lo kusut banget kayak kemeja belom disetrika." Mandy menyesap martini di gelasnya.
Aku naik ke atas bar dan berbaring di sana. Ada banyak hal yang ingin aku ceritakan pada Mandy, tapi terlalu bingung harus mulai dari mana.
"Lo mau gue teleponin Will?" tanya Mandy.
Aku menengokan kepala, menatap mata Mandy. "Kenapa sih lo sama Bang Andre selalu nyaranin gue nelepon Will kalau ada apa-apa?"
"Ya kali aja lo butuh dia."
"Emang dia siapanya gue?"
"Ya temen sih, cuma sayangnya lo terlalu buta aja pada kenyataan bahwa dia cinta sama lo."
"Ini kita lagi bahas Will yang sama nggak sih?" tanyaku serius.
"Iya lah! Willy! DJ Will! Your beloved Willard!"
"Pale lo beloved. Nggak ada tuh beloved-beloved dalam kamus gue ke Willy."
"Iya. Soalnya lo manusia paling nggak peka sejagad raya, Tan," cemoohnya.
"Biarin!" sergahku. "Gue tuh maunya temenan aja sama Will."
"Kalau lo nggak bisa liat bahwa Will cinta sama lo, sih, masih oke lah. Tapi jangan coba-coba bilang sama gue kalau lo nggak cinta sama dia."
"Gue nggak cinta sama Will." Sayangnya ada degup aneh yang muncul di dadaku ketika mengatakan itu.
Mandy tertawa hingga hampir menyemburkan martini dari lubang hidungnya. "Pernyataan lo barusan itu sebuah kebohongan yang payah," ledeknya.
Aku menghela napas kesal. "Udah ah, gue nggak mau ngomongin Will. Gue mau ngomongin soal Galih."
Alis Mandy mengerenyit. "Kenapa tuh bocah sarap? Dateng lagi minta duit?"
"Enggak."
"Terus?" Mandy menenggak habis isi gelasnya dan bergabung denganku berbaring di atas bar.
"Dia tuh ke sini kemaren."
"Ke sini nemuin elo?"
"Bukan."
"Apaan sih ah, lo mah cerita sepotek-sepotek, geregetan gue," omel Mandy.
"Galih ke sini sama Haidy. Dan polisi tahu itu karena keberadaan dia ketangkep kamera CCTV. Masalahnya adalah kali ini gue justru nggak tahu kalau dia lagi ke Jakarta, gue nggak tahu di mana keberadaannya sekarang, bahkan gue nggak ngerti gimana ceritanya dia bisa ke sini bareng Haidy dan ngilang kayak hantu setelahnya," ujarku.
"Hah?!"
"Kalau feeling gue bener, kayaknya keberadaan Galih di Jakarta ada hubungannya sama kematian Jolak."
Mandy yang cerewet mendadak bisu. Mungkin dia masih memproses kata-kata yang tadi kuucapkan.
"Lo tahu, kan, kalau Galih sekarang menjabat sebagai CEO perusahaan bokap gue?" tanyaku. "Kalau sampe dia bener-bener ada hubungan sama kematian Jolak, reputasi perusahaan bokap gue bisa ancur."
"Elo sih nggak mau ngambil alih perusahaan bokap lo," ucap Mandy akhirnya. "Malah kerja capek-capek jadi PR di perusahaan orang lain, kayak kekurangan duit. Warisan bokap lo kan nggak bakalan abis walaupun lo pake keliling dunia tujuh kali."
"Gue emang nggak kekurangan duit, tapi gue nggak mau kekurangan kerjaan kayak nyokap gue sampai harus menghamburkan uang demi pergaulan sosialitanya," ucapku. "Kalau bukan karena nama dia tercantum di akte kelahiran gue, dan gue yakin 100% kalau bokap gue tipe laki-laki setia, kayaknya gue lebih percaya kalau gue dibilang anaknya selingkuhan bokap yang dipungut sama dia, deh."
Telepon genggamku berbunyi persis saat aku selesai mengucapkan hal itu. Aku merogoh kantong celana dan mengeluarkan benda berisik itu.
"Kayaknya nyokap lo kupingnya panas gara-gara tadi diomongin," ucap Mandy setelah mencuri pandang ke arah layar ponselku.
---
Music Video : Woman Like Me by Little Mix ft. Nicki Minaj
—
Hai, readers... Aku bakalan ngadain lomba kecil-kecilan di IG terkait novel Tanya Tania yang akan terbit. Siapa tahu kamu butuh tambahan uang jajan atau pulsa, boleh pantengin dan follow IGku @kinantiwp ♥️