10 -- Critical Moment

23.6K 1.8K 24
                                    

Aku mencoba menghubungi beberapa orang dari kantor pusat, tapi tak ada satupun yang menjawab panggilan teleponku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




Aku mencoba menghubungi beberapa orang dari kantor pusat, tapi tak ada satupun yang menjawab panggilan teleponku. Wajar saja sebenarnya. Siapa juga yang mau diganggu istirahatnya sepagi ini di hari Minggu? Kalau bukan karena adanya masalah di Exhale, aku juga lebih memilih untuk tidur lebih lama.

Aku menulis pesan pada beberapa mantan rekan kerjaku dan satu pesan untuk kepala divisi PR di kantor pusat. Sebuah pesan singkat berisi informasi yang kumiliki sejauh ini. Aku juga meminta mereka menghubungiku segera setelah membaca pesan yang kukirimkan tersebut. Setelah memastikan isinya cukup jelas dan dapat dimengerti aku mengirimkan sambil berdoa semoga seseorang akan bangun lebih pagi hari ini.

Langit Jakarta sudah mulai terang ketika aku dan Will sampai di parkir depan Exhale. Belum terlihat ada kumpulan massa, meski ada beberapa mobil polisi yang terparkir. Aku cukup yakin bahwa kejadian yang menimpa Joseph Laksmono terjadi di parkiran basement. Karena jika terjadi di parkiran depan, minimal ada warga sekitar yang sudah berkumpul untuk ikut memantau atau, lebih buruk lagi, menyebarkan berita kematian Jolak.

Seorang sekuriti Exhale berlari menghampiri ketika melihat aku turun dari mobil.

"Kak, kata Pak Andre disuruh masuk dari samping. Ada polisi juga yang sudah nunggu," ujarnya.

"Iya. Makasih ya, Gus," ucapku sambil menutup pintu mobil. "Eh, iya. Kamu semalem tugas nggak ya?" Aku memutar tubuhku cepat.

"Enggak, Kak. Saya kemarin libur. Soalnya Jumat kemarin saya double shift. Sekuriti yang semalem tugas semua ada di dalam, Kak. Yang semalem nggak tugas hari ini diminta Pak Andre masuk semua, buat bantu-bantu polisi dan jaga-jaga kalau ada wartawan," jelasnya.

"Oke. Sekali lagi terima kasih banyak ya, Gus."

Aku melangkah lebar menuju tangga akses kantor. Di belakangku Will berusaha membersamai langkah, tapi tetap menjaga jarak. Untungnya paus gila itu cukup tahu diri dan nggak punya sifat kepo berlebihan.

Beberapa kepala menengok ke arahku ketika aku membuka pintu kantor. Seorang polisi yang berdiri paling dekat dengan pintu berusaha menghalangi jalanku.

"Saya Tania, PR Exhale," ujarku sambil menunjukan tanda pengenalku.

"Dia?" tanyanya singkat sambil mengalihkan pandangan pada Will yang berdiri tepat di belakangku.

"DJ Will. Semalam dia main sekitar jam satu," terangku.

Polisi itu akhirnya mengangguk dan mengizinkan kami masuk. "Komandan kami sedang bicara dengan Bapak Andre. Jika Ibu Tania dan Pak Will berkenan, kami perlu menanyakan beberapa informasi terlebih dahulu."

"Maaf, Pak. Tapi saya harus bertemu dengan tim saya terlebih dulu, ada beberapa hal yang perlu segera saya putuskan terkait event Exhale malam ini," tolakku tegas.

"Itu bisa menunggu," ucapnya setengah memaksa.

Aku baru hendak membuka mulut ketika seseorang memanggilku, "Tania!"

Semua kepala menoleh pada Bang Andre yang terlihat melongok dari pintu ruang kerjanya.

"Maaf, permisi," ujarku seraya menyingkirkan polisi yang sedari tadi berdiri menghalangi jalan. "Ayo, Will."

Aku menggandeng tangan Will dan segera masuk ke ruang Bang Andre. Seorang polisi yang jika perhitunganku tidak salah sudah berusia setengah baya duduk di kursi tamu ruangan tersebut.

"Pak Amal, ini Tania. Kepala divisi PR Exhale," ucap Bang Andre memperkenalkan kami. "Saya rasa bawahan Bapak bisa berkoordinasi dengan Tania jika membutuhkan informasi apapun tentang Exhale."

Pak Amal bangkit dari duduknya. Aku menjabat tangan komandan polisi tersebut sambil menganggukan kepala.

"Yang ini Willard. Semalam dia satu-satunya DJ tamu yang main di kelab kami."

Will maju dan bersalaman dengan Pak Amal.

"Bang, gue harus acc desain pemberitahuan dulu," ucapku pada Bang Andre.

"Itu bisa nunggu. Polisi butuh keterangan lo dulu, nggak sampe sepuluh menit." Bang Andre terlihat agak kurang yakin dengan pernyataannya sehingga merasa perlu menengok pada Pak Amal.

"Kami bisa menunggu jika Mbak Tania merasa pekerjaannya lebih mendesak. Tapi sementara ini anak buah saya perlu memantau segala hal yang ada di sini. Akan sangat membantu pekerjaan kami pula jika Mbak Tania bisa segera memberi keterangan pada pihak kami. Mohon maaf untuk ketidaknyamanannya," ucap Pak Amal ramah.

"Saya nggak masalah, Pak. Saya hanya perlu waktu beberapa menit untuk ketemu dengan tim saya. Anak buah Bapak bisa ikut dan mengobservasi," terangku.

"Baik."

"Terima kasih," tukasku.

"Saya bisa memberi keterangan lebih dulu jika diperlukan," ujar Will.

Aku tak menunggu jawaban apapun dari Bang Andre ataupun Pak Amal untuk pernyataan Will barusan. Aku memilih untuk segera keluar dari ruangan Bang Andre dan mengambil langkah seribu menuju ruangan PR/Marketing yang pintunya terbuka lebar.

"Yo, Ndi, mana desain pengumuman? Sheila udah ngabarin vendor malam ini kalau kita tutup?" tanyaku cepat seraya meletakan tas ke atas meja.

"Belum, Kak," aku Sheila. "Bang Andre bilang harus tunggu elo dulu takut gue salah ngomong sama vendor."

Ario dan Gandi menghampiriku dengan beberapa desain yang sudah mereka siapkan.

"Ini oke, cetak yang gede, taro di depan pintu masuk Exhale, ya. Minta beberapa sekuriti uat jaga di depan ya, kalau bisa minta bantuan polisi juga. Tadi pas dateng gue nggak liat ada polisi di luar. Takutnya sebentar lagi mulai ada tamu-tamu lain dari pihak keluarga Jolak dan wartawan." Aku menginstruksikan pada Gandi secepat yang kubisa.

"Siap, Kak," ujar Gandi yang langsung menghilang dari hadapanku.

"Ini oke, Yo. Tolong kasih CP gue di semua foto juga ya, biar kalau ada yang perlu infomasi apa-apa langsung dari gue aja."

"Oke, Kak," sahutnya.

"Semuanya!" Kata-kataku yang keras membuat semua orang di ruangan itu, termasuk para polisi yang berjaga, memandangku. "Mulai detik ini informasi apapun yang keluar dari Exhale harus melewati persetujuan gue atau langsung lewat gue. Jangan ada yang membagi informasi apapun kepada siapapun, termasuk orang-orang terdekat, tanpa persetujuan gue. Paham ya?"

Beberapa kepala mengangguk.

"Sheila, sini," panggilku.

"Ya, Kak?"

"Gue telepon satu DJ, setelah itu elo hubungin vendor dan pengisi acara lain. Lo ngomongnya harus persis dengan yang gue contohin."

"Iya," sahutnya ragu.

Aku mengangkat telepon kantor dan segera menghubungi DJ yang malam nanti seharusnya mengisi acara di Exhale. Dengan cepat aku menjelaskan informasi tentang ditutupsementaranya Exhlae, meminta maaf atas ketidaknyamanan yang terjadi, dan berjanji untuk segera mengatur meeting untuk event lainnya. Setelah menutup telepon aku langsung meminta Sheila untuk melakukan apa yang baru saja aku contohkan. Aku sempat memperhatikan dia menelepon manager salah satu PA yang merupakan pengisi acara event malam nanti. Setelah yakin bahwa Sheila bisa mengikuti instruksiku maka aku segera beralih.

Aku melangkah menghampiri para polisi yang berdiri di dekat pintu ruanganku. "Saya siap memberi keterangan," ucapku.

Salah satu dari mereka mengangguk dan mempersilakanku untuk mengikutinya.








---

Music Video : Rockabye by Clean Bandit ft. Sean Paul & Anne-Marie

Tanya Tania [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang