Satu jam dan entah berapa gelas martini setelahnya, Bang Andre dan Will menemukan keberadaanku di bar. Meski aku sedikit curiga bahwa Mandy yang memberi tahu mereka keberadaan kami karena tak tahan akan sikap bungkamku."Pulang gih," ujar Bang Andre sambil menjauhkan gelasku. "Udah hampir dua hari kan kita nggak pada tidur. Gue juga mau balik. Besok kalau mau pada libur juga nggak apa-apa, toh Exhale juga tutup sampai ada keputusan lanjutan."
"Yes! Akhirnya gue bisa ketemu kasur," jerit Mandy bahagia.
"Yuk, balik," ucap Will sambil mengangkatku dari kursi.
"Gue masih bisa jalan," protesku.
"Oke... Oke. Tapi lo udah jelas nggak bisa nyetir, jadi nggak usah nolak kalau gue anterin balik ke apartemen." Will menurukanku dari gendongannya.
"Tapi mobil gue jangan di tinggal," ucapku melantur.
"Ya kalau nggak naik mobil lo terus naik apa? Kan dari kemaren juga kita pake mobil lo. Mobil gue masih di tempatnya Kano," ujar Will menyebut nama managernya.
Aku melambaikan tangan tak peduli. "Man, HP gue mana ya?"
Mandy bergegas mengambil ponsel yang teronggok di ujung ruangan. Tampang sedihnya sudah cukup menginformasikan seperti apa bentuk HPku setelah kujadikan pelampiasan emosi.
"Thanks," ujarku sambil memasukan ponsel ke saku celana.
"Yuk," ajak Will seraya menggandeng tanganku.
"Tas gue."
"Ntar gue ambilin. Gue anter lo ke mobil dulu aja," sergah Will.
Aku tak ingin melawan, jadi aku hanya bisa pasrah saat Will merangkulku menuju mobil yang untungnya di parkir dekat dengan pintu masuk Exhale. Aku sempat meracau pada Mandy tentang beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan, tapi aku tak ingat apapun lagi setelah masuk ke dalam mobil. Hanya ada pekat, dan sebuah mimpi aneh tentang Jolak yang diculik alien berwajah Mama.
***
Aku terbangun dengan pengar parah yang menghantam seperti palu Thor sedang dimainkan di dalam otakku dengan cara yang terlalu absurd untuk kujelaskan. Hampir tak ada apapun yang aku ingat sejak tertidur di mobil, satu hal yang samar-samar terlintas di kepalaku adalah ketika Will meletakanku di kasur dan mulai melepaskan pakaian yang sudah menempel terlalu lama di tubuhku.
Aku meraba sisi lain tempat tidur dan hanya merasakan kekosongan yang dingin. Aku membuka mata, tak ada Will di atas ranjangku. Aku mengangkat selimut dan menemukan satu setel piyama abu-abu berbahan sutra menutupi sebagian besar tubuhku. Sepertinya si Paus tidak melakukan hal-hal aneh pada tubuhku saat aku tidak sadar. Atas kenyataan tersebut sepertinya aku berhutang berterima kasih pada kewarasannya yang di atas rata-rata.
Aku menggerakan tubuh perlahan. Mencoba duduk tanpa menambah parah sakit di kepalaku ternyata bukan hal mudah. Segelas air putih dan dua butir aspirin sudah tersedia di nakas, lengkap dengan sebuah kertas dengan tulisan ceker ayam, yang kuyakini milik Will, yang berbunyi, "It will make you feel better."
Aku segera meminum aspirin sebelum menuju kamar mandi demi menuntaskan panggilan alam dan mengguyur kepalaku yang pening dengan air hangat. Kesadaranku yang semakin meningkat sayangnya membuatku kembali mengingat runutan kejadian demi kejadian yang kualami dua hari terakhir.
"Oh, shit!" umpatku ketika mengingat nasib ponsel yang kujadikan media pelepasan energi negatif akibat pembicaraan dengan Mama semalam.
Aku buru-buru membersihkan sisa busa di tubuhku dan mengeringkannya dengan handuk. Kemudian kembali ke kamar demi mencari ponselku, tapi benda itu tak bisa aku temukan di manapun.
Will... Mungkin Will tahu, karena semalam dia yang menggantikan bajuku.
Aku baru saja keluar dari kamar dan hendak menuju meja kerja ketika menemukan Will di sofa dengan posisi yang sama sekali tidak enak di pandang. Sofaku sebenarnya cukup besar, tapi dengan tinggi yang hampir 190 cm itu Will tentu harus memosisikan tubuhnya sedemikian rupa demi muat tidur di sana. Kakinya yang masih terbungkus celana jeans dengan anehnya nyangsang di lengan sofa, sedangkan kepalanya yang tertunduk dengan posisi aneh di ujung satunya jelas sama sekali tidak nyaman. Aku heran kenapa si bodoh ini tidak tidur bersamaku saja.
"Will ... Will." Aku menepuk tangannya yang menjuntai ke lantai. "Will, lo ngapain deh tidur di sini?" Aku menggoyangkan tubuhnya lebih keras hingga matanya terbuka.
"Apa?" tanyanya dengan suara parau.
"Lo ngapain tidur di sini? Kenapa nggak di kamar aja kalau emang mau nginep? Gue kirain lo udah pulang."
"Tadinya nggak mau tidur, tapi ngantuk," aku Will setelah menyelesaikan kuapnya. "Sakit banget badan gue. Sofa lo kecil banget sih! Beli dong yang lebih gede."
"Badan lo tuh gigantic, cuma lonya nggak sadar diri," balasku.
"Udah sehat kayaknya ya lo, udah bisa ngatain gue," ucapnya.
"Ini ngapain? Pamer six pack?" ujarku sambil menyodok perutnya dengan kuku panjangku.
"Nggak enak kali tidur pake baju, udah bagus celana gue masih lengkap," sahutnya.
"Eh, HP gue mana?" tanyaku.
"Tuh, di kantong jaket gue. Tadinya gue mau bawa ke tukang service, tapi karena gue ketiduran jadi belum dibenerin."
"Rusak parah, ya?" Aku berjalan mengambil jaket Will yang tersampir di salah satu kursi makan.
"Kelakuan lo jelek kalau marah. Udah tahu iPhone kalau kebanting pasti rusak, ini malah lo lempar ke ujung dunia. Otak lo di mana?" Tangan Will sukses menoyor kepalaku. "Bagi kopi, ya," ucapnya sambil berjalan menuju dapur.
"Iye. Bikinin gue sekalian," pintaku.
"Ngelunjak lo. Aspirinnya udah lo minum belom?" tanyanya.
"Udah. Bawel lo!" Aku menghempaskan bokongku ke sofa yang terasa panas akibat semalaman ditiduri Will. "Jam berapa sih ini?"
"Setengah sebelas," ucap Will sekilas melirik jam tangannya sebelum kembali menuangkan air panas ke dalam cangkir kopi.
"Anjrit, pingsan gue semalem."
"Gitu deh," sindirnya. "Jangan sering-sering, ya."
---
Music Video: The Light is Coming by Ariana Grande ft. Nicki Minaj
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanya Tania [TERBIT]
ChickLit[SUDAH DITERBITKAN OLEH PENERBIT KATA DEPAN] Menjadi Public Relations Officer memang mimpi Tania sejak kuliah dulu. Kini, setelah lima tahun bekerja di head office NRA Group, sebuah tawaran menggoda datang untuk menjadi head of PR department di Exha...