[SUDAH DITERBITKAN OLEH PENERBIT KATA DEPAN]
Menjadi Public Relations Officer memang mimpi Tania sejak kuliah dulu. Kini, setelah lima tahun bekerja di head office NRA Group, sebuah tawaran menggoda datang untuk menjadi head of PR department di Exha...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Aku tersentak ketika telepon di meja kerja berbunyi. Sepertinya aku sudah terlalu lelah hingga tertidur selama beberapa menit meski sudah memaksakan diri untuk tetap bekerja. Dering berulang, dan aku segera mengangkatnya.
"Dengan Tania Lova, selamat siang," sapaku.
"Selamat siang, Mbak Tania. Saya AKP Marko dari Reskrim Polda. Apakah Mbak Tania bisa datang ke kantor kami siang ini?"
Aku menghela napas dalam-dalam demi menjauhkan perasaan waswas yang datang tiba-tiba. "Ada masalah, Pak?" tanyaku.
"Ada beberapa hal dari CCTV Exhale yang ingin kami konfirmasi. Kami juga memanggil beberapa orang lainnya dari pihak Exhale untuk mengkonfirmasi keberadaan orang-orang yang mungkin terkait dengan kejadian ini," terangnya.
Aku menutup telepon, dan menatap canggung pada wajah-wajah lelah yang kini sedang memandangku. Sepertinya bukan aku saja yang tertidur setelah pagi yang panjang tadi.
"Kenapa, Tan?" tanya Mandy menyuarakan pertanyaan yang menggantung dari tatapan-tatapan itu.
"Gue disuruh ke Polda."
"Ada masalah?" sambar Will yang baru saja masuk ke ruanganku.
"Katanya cuma mau nanya soal CCTV. Mungkin mereka nemuin petunjuk," dugaku.
"Barusan juga kayaknya Andre diminta ke Polda, tuh. Kalian bareng aja," usul Will.
Aku mengangguk. Dengan segera aku merapikan barang-barang ke dalam tas.
"Eh, ini HP kalian ambil lagi aja," ucapku. "Kayaknya nggak ada yang aneh-aneh. Sementara kita detox sosial media dulu ya, takut dijadiin umpan buat nambahin masalah baru."
Sebelum tertidur tadi aku sempat memeriksa ponsel anak-anak Exhale, memperhatikan posting-an di sosial media yang mereka bagikan semalam dengan harapan mendapatkan secuil petunjuk keberadaan Haidy maupun Jolak yang bisa saja tertangkap kamera. Tapi tak ada satupun yang memperlihatkan penampakan aneh atau mencurigakan.
"Tan, eh... Lo mau ke mana?" tanya Bang Andre yang kepalanya menyembul dari balik pintu.
"Mau ikut elo ke Polda."
"Oh, lo juga dihubungin?"
"Iya."
"Ya udah, ayo," tukasnya.
"Titip kantor, ya," ujarku. "Kalau Stardust dateng langsung suruh telepon gue."
Aku berlalu dari ruang kerja, mengekor Bang Andre menuju ke parkiran depan Exhale. Sejujurnya ada begitu banyak pertanyaan yang belum terjawab dalam benakku. Namun, sebaiknya aku menahan semua pemikiranku itu hingga bertemu dengan polisi dan mendapatkan informasi lengkap.
Aku terlonjak ketika tangan Will menjulur lebih cepat untuk membukakan pintu mobil Bang Andre untukku.
"Oh God! Will! Jantung gue hampir copot!" omelku.
"Makanya jangan bengong," ledeknya.
"Lo mau ikut juga ke kantor polisi?" tanyaku.
"Enggak. Gue mau balik dulu, mandi, sekalian ngeberesin rumah," jawabnya. "Tapi nanti gue balik lagi ke sini."
"You don't need to. This isn't your war," tukasku.
"It isn't. Indeed. But I found myself useful. Lagian gue nggak ada kerjaan juga kok, jadi gue bisa bantu-bantu di Exhale."
"Exhale belom butuh OB baru, Will," cibirku.
"Jangah ngelucu. Lo tuh nggak lucu, Tan."
"Gue juga nggak ngerasa lucu, kok. Kalau gue ngerasa lucu gue udah daftar lomba stand up comedy di tv dari kemaren," ujarku sambil menghempaskan bokongku ke kursi belakang mobil Bang Andre.
"Pokoknya nanti gue balik lagi. Jadi lo nggak perlu kangen sama gue."
"Elo kayaknya kurang tidur banget deh sampe berhalusinasi gitu," ujarku. "Mendingan lo pulang, terus istirahat deh. Kalau gue butuh lo nanti gue telepon."
"Dan pastinya lo baru akan nelepon gue lagi kalau ada yang minta gue main di Exhale. Yahh... Mungkin sekitar enam bulan ke depan. Iya, kan?"
Kata-kata Will menohok langsung ke jantungku. Aku tidak pernah benar-benar bermaksud menghindarinya setelah kejadian bobo-bobo persahabatan enam bulan lalu. Aku hanya merasa butuh meyakinkan diri bahwa hubungan kami tetap berjalan seperti pertemanan biasa. Tapi, ketika kenyataan itu diucapkan oleh Will rasanya aku memang teman yang sekejam itu.
"Jangan bengong! Lo butuh konsentrasi untuk berkomunikasi sama polisi. Kalau lo kebanyakan bengong bisa-bisa mereka ngira elo terlibat." Will memperingatkanku. "See you again later, okay?"
"Oke," sahutku.
Will menutup pintu dan menepuk kap mobil. Seketika itu juga sopir Bang Andre langsung menjalankan mobil membelah kemacetan Jakarta.