Halaman 18

611 54 3
                                    

Brak....

Kursi roda itu melayang membentur tembok di sisi Ilham. Kaget bukan main. Ilham berlari mendekat ke arah Andi dan Dina. Mata mereka menatap nyalang ke setiap sudut ruang. Tetiba...

"Aaaaaa......"

Dina terguling di tangga.

"Dina!"pekik Andi dan Ilham berlari menuruni anak tangga menghampiri Dina. Seperti ada yang mendorong Dina, tapi tidak nampak oleh pandangan mereka. Gadis itu terguling hingga ke bawah. Seluruh tubuhnya seperti remuk berantakan.

"Lo gapapa?"serobot Ilham.

Dina mengerjabkan matanya berkali-kali. Seluruh pandangannya terasa kabur. Penglihatannya buram.

"Lo gapapa?"tanya Ilham lagi berusaha membangunkan Dina.

Dina mencoba duduk dan memegang kepalanya yang terasa berdengung hebat.

"Argh.."erangnya.

Mata mereka membulat, ketika darah segar mengalir dari hidung Dina. "Lihat! Lo mau tanggung jawab, Ndi?!"

Andi terlihat gusar mendapati Dina persis seperti Okta. Tangannya gemetar hebat. Ini semua salahnya! Tidak sengaja sekelebat membayangkan Okta yang terguling waktu itu.

"Lo masih bisa berdiri Din? Kita pulang!"ucap Ilham.

Dina masih menundukan kepalanya berusaha menetralkan penglihatan dan pikirannya. "Dengar baik-baik, kalian mending bareng Okta dan Ujang di ruang tengah. Biar gue yang naro album ini di tempatnya,"

Dina mendongak menatap manik mata Andi yang menyesal."Gak Ndi! Kita berangkat bareng-bareng, pulang pun harus bareng!"tegas Dina.

Gadis itu mencoba bangkit, tubuhnya seperti terpecah belah. Mereka memutuskan untuk menaiki anak tangga kembali. Andi dan Ilham memapah Dina untuk sampai ke lantai 2. Berbeda dengan Bari, Indah, Salman dan Kang Usman yang menyusuri lorong bawang tanah.

Ternyata rumah bertingkat dua itu sangat megah sampai tak terbayangkan oleh pikiran Indah, Bari dan Salman. Listrik sengaja dipadamkan demi mencari jejak dimana Izul berada. Mereka memegang senter masing-masing. Bau tanah basah merayap pada dinding-dinding lorong bawah tanah itu. Indah secepat mungkin mengenyahkan pikiran buruk tentang lorong gelap ini. Tapi ada yang mengganggu dipikirannya sejak tadi.

"Anaknya Kang Usman kemana ya?"tanya Indah.

Bari yang menyadari keanehan itupun, menghentikan langkahnya. Menurut Kang Usman, mereka bersama anaknya seharusnya. Indah kembali menegang. Sekelebat ia melihat potongan gambaran akan lorong ini. Pikirannya entah mengapa tertuju pada sebuah gadis kecil berambut pirang yang menangis tersedu-sedu.

Langkah Indah berhenti kembali ketika kepalanya terasa sangat sakit.

"ARGHH..."

"Ndah? lo gapapa?"tanya Salman ketika Indah mulai berjongkok di lantai.

Kang Usman berlari menghampiri, "Loh kalian bertiga?"tanya Kang Usman. Matanya langsung beralih pada Indah yang mengerang kesakitan.

"Rupanya dia ingin kamu tahu penderitannya,"ucap Kang Usman khawatir.

Matanya menatap nyalang pada langit-langit lorong yang basah. Udara semakin pengap ketika tahu hujan turun dengan derasnya di luar sana. Posisi lorong ini berada di bawah tanah dan letaknya cukup dalam, membuat pasokan udara semakin menipis.

Indah memejamkan matanya kembali ketika bayangan itu datang dalam kepalanya. Gadis kecil itu disiksa habis-habisan oleh orang tuanya. Indah menjambak rambutnya sendiri ketika rasa sakitnya semakin tak wajar.

Tengah MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang