Pembuka

3.5K 126 17
                                    

Jakarta, 15 Januari 2018

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jakarta, 15 Januari 2018

Bulan masih nampak malu malu saat itu. Jingga keorenan mulai memudar menggantikan rona keunguan di wajah sang langit.

Aku menengadah menatap langit. Ditemani kawan semasa putih abu-abu ku, kami kembali bernostalgia. Bergerumul diantara padatnya pedagang kaki lima. Sesekali menjengkit ketika seseorang menginjak sepatu yang ku kenakan.

Kami ber-sembilan duduk beralaskan terpal biru di pinggir jalan. Tak lupa ditemani sepiring pancong yang masih mengepul, ditambah segelas es teh manis pendorong makanan di tenggorokan.

 Tak lupa ditemani sepiring pancong yang masih mengepul, ditambah segelas es teh manis pendorong makanan di tenggorokan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Beberapa kali ku temui asap rokok berpadu kasih dengan asap kendaraan lalu lalang yang lewat. Sudah jadi kebiasaan sepertinya. Ada juga anak muda-mudi yang bercengkrama menyambut dunia malam. Dan ini pertama kalinya kami berkumpul kembali setelah sekian lama sibuk dengan kuliah masing-masing.

"Nanjak udeh lah sekali-kali,"usul Bari. Tidak tinggi dan tidak ganteng seperti kebanyakan tokoh-tokoh di novel. Ia berkulit paling gelap diantara kami.

Lamunan ku terpecah ketika salah satu dari kami membuka pembicaraan. Boleh juga. Sudah lama kami tidak berpegian bersama. Terakhir kali, kami pergi bersama di saat satu tahun setelah kelulusan sekolah. Itupun perjalanan yang sangat nekat. Terjebak di Hutan Pinus sampai adzan magrib berkumandang. Membayangkan itu kembali, membuat senyum ku terukir.

"Kasian yang cewek, lagian juga kita belum pernah pergi nanjak. "timpal Salman. Sedikit putih dan sedikit berisi tubuhnya. Ia mempunyai ciri khas di rambutnya diantara kami.

"Gue setuju! Males juga, gak ada sinyal. Ntar gue ngabarin cewek gue gimana?"kali ini Ilham. Ia mempunyai hobi bermain game online dan tubuhnya sedikit berisi sama dengan Salman.

"Bucin!"celetuk Andi. Diantara yang lain, ia sedikit tertutup. Ciri khas dari seorang Andi adalah Alis yang tebal ditambah kumis sebagai pelengkap di wajah Andi yang sedikit 'Misterius'.

"Wacana gak?"timpal Sila. Semua beralih menatap Sila. Seolah Sila-lah tersangka utamanya.

"Insyaallah, enggak Sil. Yang harus diperhatikan itu kita mau pergi kemananya dulu tentuin, gue ogah kayak waktu ke pinus dulu haha"timpal Bari.

"Iya! Serem sendiri gue haha"timpalku.

"Tapi seru!"balas Raina.

"A-akuu...."

Kali ini semua mata beralih pada Indah. Diantara kami, ialah yang paling menggemaskan. Dan satu hal lagi, ia dapat melihat 'dia yang tidak dapat dilihat' .

"Aku gak janji ya. Takut gak dibolehin sama Ibu,"ucapnya.

"Tenang aja Ndah. Aku bakal izinin ke orang tua kamu,"modus Bari.

"Aku juga gak janji ya," akhirnya Dina juga ikut membuka suara. Ia yang paling berhati keibuan. Ia baik.

"Tuh, mending jangan manjat deh."usul ku.

"Yaudah, nanti gue cari tempat yang bagus."

"Jangan lupa cari yang murah Bar,"

"Depan rumah gua murah Man!"

"Si kampret! Kalo di kasih tau yang bener hahaha"

Kami-kaum wanita, selebihnya hanya memperhatikan mereka berbicara. Terkadang menimpalinya dengan tertawa, dan terkadang memberikan usulan. Indah, Dina, Sila dan Raina tidak seperti kebanyakan wanita terutama teman kampusku. Bisa dikatakan mereka lebih memilih polesan natural ketimbang harus repot-repot membawa perlengkapan dandan di tas mereka. Mereka juga mempunyai kisah masing-masing. Indah dengan kemampuannya yang bisa melihat 'dia yang tidak terlihat' dan Raina yang mempunyai sifat 'dingin'. Sila yang selalu meramaikan suasana dan Dina yang selalu menengahi ketika kaki berbeda pendapat. Dan aku? Aku Oktamara, gadis ceroboh yang seringkali membuat mereka jengkel. Perempuan biasa tidak terlalu menarik untuk dijadikan tokoh utama.

Mereka tadi kawanku. Mereka yang memberi awal cerita ku kali ini. Pertemuan pertama yang entah mengapa terdengar aneh dan mengejutkan.

Waktu berlalu sangat cepat. Seperti tidak mau tersaingi oleh detik dan menit. Hari yang juga sangat melelahkan untuk ku pikirkan beribu-ribu kali. Sampai jengah sendiri. Ku putuskan untuk menyudahi pikiran-pikiran aneh yang mulai merayap. Membanting tubuhku di atas kasur. Menerawang jauh tentang firasat buruk atau hanya imajinasiku saja yang terlalu jauh?

Pukul duabelas malam pikiran semakin kalut. Mataku tak kunjung terpejam, masih membayangkan pembicaraan mereka. Bahkan notif pesan yang dipenuhi oleh mereka sengaja tak ku buka. Mungkin saat ini, mereka sedang menempatkan waktu yang pas untuk keberangkatan menjelajah ke kota Bandung.

Pada saat itu pula....





Aku ragu..

Tengah MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang