Halaman 12

641 52 0
                                    

Tentang apa-apa yang berlalu, biarkanlah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tentang apa-apa yang berlalu, biarkanlah.
Percayakan pada Sang Waktu.
Konon katanya, ia penyembuh paling mujarab!

Oktamara

***

Andi, Okta dan Ujang berjalan membelah hutan belantara. Berbekal lampu senter dan tas yang memeluk erat di punggung mereka, memberanikan diri berjalan di tengah hutan pada malam hari.

Mereka berencana menjemput Izul temannya di rumah sang penjaga Vila. Kaki Okta sudah lebih baik setelah mendapat sedikit pijatan oleh Ujang. Tangannya terbalut perban ditambah keningnya tertempel plester berwarna oren.

"Kita aman kan, Jang?"

Ujang menoleh ke arah gadis mungil di sampingnya. "Belum tentu. Tapi berkat teman mu, ku pikir aman. Ia mengikutimu dan menjagamu kemanapun."tutur Ujang.

"Teman siapa?"tanya Andi.

"Okta punya penjaga turun-menurun dari kakek buyutnya. Meskipun makhluk itu berjenis perempuan, ia pernah menjadi pemimpin di masa jayanya."

"Sejak kapan lo bisa lihat begituan Jang?"tanya Andi penasaran .

"Dulu saya pernah kecelakaan yang berakibat koma. Pertama kali berinteraksi sama mereka kaget bukan main. Mereka terkadang nyaru dengan manusia seperti kita. Itu karna sebagian dari mereka belum sadar kalau dia udah mati,"tuturnya melihat lurus ke depan

Ujang mempercepat langkahnya, hanya tidak ingin membahas tentang masa lalu kelam. Menghindari pertanyaan-pertanyaan berderet yang mungkin keluar dari dua anak kota tersebut.

"Ah, itu rumah Pak Usman."seru Ujang.

Okta melempar pandangan terhadap rumah sederhana itu. Nampak sederharna nampun lampu-lampu yang dipasang terlalu mencolok di tengah hutan.

"Assalamualaikum, Kang Usman."teriak Ujang.

Andi dan Okta berdiri di belakang Ujang. Mata mereka menangkap siluit pria paruh baya berjalan mendekat ke arah pintu.

cklek.

Pintu terbuka menampakan wajah yang tak asing menurut Okta. Ia sempat melihat pria di hadapannya sedang berbincang dengan Bari.

"Kalian teman si anak kota?"serobot pria paruh baya tersebut tanpa basa-basi. Ia memandang sinis Okta dan Andi yang datang tanpa diundang. Ujang yang melihat tatapan tersebut berusaha menengahi kesalahpahaman Kang Usman.

"Eh Kang, mereka berbeda kang"seru Ujang dengan logat sunda.

Pria bernama Kang Usman beralih menatap Ujang dengan tatapan biasa. "Sama saja! Anak kota itu semua sama, kelakuannya senonoh."

Ujang menggaruk tengkuk kepalanya yang tidak gatal. Ia sedikit tidak enak dengan Okta dan Andi. Melihat respon yang didapat tidak mengenakan, Andi berdehem. "Ah pak, maaf kami boleh menjenguk teman kami?"

Tengah MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang