Penutup

569 44 8
                                    

Ah benar, sang pemenang akan pulang.

Oktamara

***

Innalilahi Wainnailaihi Raji'un

Bendera kuning telah dikibarkan. Tanda sang pemenang akan pulang dan kembali ke pangkuan-Nya. Area TPU—Tempat Pemakaman Umum Sirnaragadihiasi Bandung dihiasi dengan hitam-hitam. Gemuruh dan awan mendung mengiringi kepergiian manusia naas yang lebih memilih untuk mengakhiri hidupnya.

Mereka di sana—Raina, Indah, Sila, Dina, Andi, Ilham, Bari, Salman dan Izul. Bersembilan menatap gundukan tanah merah yang masih basah. Tidak ada tangis di sana. Hanya pandangan kosong akan apa yang telah mereka lalui satu bulan yang lalu.

Tak lupa bekas luka yang masih tersimpan jelas pada memori mereka. Sekali lagi, tidak ada tangis. Tidak ada raut kesedihan pada diri mereka.

"Terimakasih kalian masih mau mengunjungi makam Amir," Kang Usman menghapus jejak air mata pada pipinya. Satu bulan setelah Amir dinyatakan bersalah dan dihukum selama 7 tahun penjara, ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.

Izul yang berdiri paling dekat dengan Kang Usman, mencoba menenangkan mengusap punggung Kang Usman. Banyak pelajaran yang dapat ia petik dari kejadian ini. "Dari kejadian ini saya juga banyak belajar, Kang."ucap Izul tulus.

Ya, ia banyak belajar mengenal dirinya sendiri. Dan banyak belajar tentang menghargai pendapat orang lain. Andi ikut mendekat ke arah Kang Usman.

"Kami berterimakasih banyak sama Kang Usman. Berkat pertolongan Kang Usman, kami semua masih hidup." Kang Usman merasa bersalah mengingat nasib gadis yang mempunyai penjaga paling dihormati.

"Bagaimana kabar teman kalian?"

Semua ekspresi kesembilan anak manusia itu, berubah menjadi sendu. "Belum dipastikan kapan dia bangun, Kang. Tapi kondisinya stabil,"

"Saya merasa berdosa. Mohon maafkan saya,"Ucap Kang Usman tulus.

"Insyaallah sudah kami maafkan, Kang. Tinggal menunggu bagaimana takdir Tuhan memberikan keputusan untuk Okta dan Ujang."

Bari menengadah menatap langit. Tanda sudah cukup mereka bersendu dengan awan kelabu. "Kalau gitu, kita pamit ya Kang. Mau hujan,"ucapnya dengan sopan.

Lucu sekali bukan. Mereka bersembilan pulang dengan hati gundah gulana. Mereka bersembilan tidak kalah. Bukan kalah dalam artian sebuah permainan. Karena sang pemenanglah yang pulang. Sebelum masuk ke dalam mobil, mereka berdiam diri menatap mata masing-masing kawan mereka. Untuk pertama kalinya mereka mendapatkan luka yang cukup parah untuk mereka ingat dalam ingatan.

Satu bulan setelah kejadian hal itu, semua nampak kembali pada aktivitasnya. Sila dan Dina yang sibuk dengan kuliahnya. Raina yang sudah resmi menjadi perawat disalah satu Rumah sakit ternama di Jakarta. Izul yang makin giat membantu ibunya. Ilham yang mulai menekuni hobinya sebagai jurnalis, Salman yang kembali pada pekerjaannya dan Andi yang semakin menyibukan dirinya dengan buku. Yang paling berbeda adalah Indah, ia melatih dirinya untuk tidak berkomunikasi dengan mereka. Orangtuanya pun menyetujui keinginan anaknya, yang kelihatannya bagus untuk Indah. Tidak terduga hal itupun membawa imbas baik untuk dirinya. Menjadi manusia normal walaupun tidak sepenuhnya normal. Ia masih bisa merasakan kehadiran mereka walaupun samar-samar.

"Huh..."Bari membuang napas dan memecahkan keheningan.

"Gue tau luka ini bakalan tersimpan jelas pada memori kalian, sekali lagi gue mau berterimakasih dan minta maaf. Semoga di reuni yang akan datang, bakalan lebih baik dari ini."

Tengah MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang