Anakku Raihan

134 2 0
                                    

Warna-warni cerah kain memanjakan mata yang memandang. Balqis hanyut bersama ibu-ibu lainnya di antara gulungan kain tinggi di pusat grosir kain Jakarta. Sembilan hari lagi lebaran. Sudah menjadi tradisi di keluarga Balqis untuk membuat baju lebaran di penjahit langganan. Blqis sudah mendapatkan kain-kain yang ia mau. Namun, ia kehilangan jejak ibu.

Balqis menelusuri gang demi gang toko kain sambil memanggil-manggil ibu. Ia juga terus berusaha menghubungi ibu. Ibu tak mengangkat ponselnya. Balqis mencoba lagi menelepon ibu. Setelah lima menit mencari, akhirnya Balqis berhasil menemukan ibu. Bangku kayu panjang di depan sebuah toko terlihat penuh sesak diduduki oleh pengunjung ibu-ibu. Mereka tampak kelelahan usai berbelanja. Apalagi saat sedang puasa begini. Ibu duduk di tengah. Masih menggendong Raihan.

"Ibu sih...tadi kan Balqis udah bilang supaya nggak usah bawa Raihan. Akhirnya capek gendong deh. Mana ibu juga belum dapat kain." Protes Balqis yang berdiri di depan ibu. Ia tidak peduli pandangan sinis ibu-ibu di sekitarnya.

"Lah, mbak namanya juga cucu. Pasti mau dibawa kemana aja sama neneknya. Iya kan, bu? Sahut seorang ibu bertubuh gemuk pendek di samping ibu. Ibu Balqis tersenyum sambil manggut-manggut.

"Mbak dong yang seharusnya gendong anaknya. Bukan neneknya." Tambah ibu itu lagi. Balqis merengut. Nih ibu sok tahu banget sih!

"I...ini saya yang mau kok, bu. Habisnya sayang sama cucu. Ayo, Balqis kita cari kain buat ibu. Mari, ibu-ibu saya permisi duluan ya." Ucap ibu. Ibu tidak ingin keadaan semakin kacau. Meski kakinya masih pegal ibu berusaha menjauhkan Balqis dari tempat itu.

Belum sampai ke toko yang dituju, tiba-tiba ibu merintih kesakitan. Kakinya sudah tidak bisa diajak kompromi lagi. Ibu bersandar pada pintu harmonika sebuah toko yang sedang tutup. "Balqis, tolong gendong Raihan." Balqis menerima begitu saja Raihan yang disodorkan ibu. Ia langsung bisa memposisikan tangan saat menggendong Raihan. Rasanya ada sesuatu yang aneh mengalir di hatinya. Tapi Balqis tak tahu itu apa.

"Ibu...ibu nggak apa-apa?"

Ibu terlihat kesakitan. "Kita pulang aja, nak. Kaki ibu sakit sekali."

"I...iya, bu. Sebentar ya Balqis cari pak satpam dulu buat bantu kita?"

Seorang satpam membantu membawakan barang-barang Balqis. Ia juga memapah ibu berjalan. Dan Balqis masih menggendong Raihan sampai naik ke mobil. Raihan ditempatkan di car seat yang terpasang di jok penumpang samping bangku supir. Balqis lalu duduk di bangku supir. Ibu yang duduk di bangku belakang sempat melarang Balqis untuk membawa mobil. Namun, Balqis bersikeras membawa mobil sendiri karena kondisi kaki ibu yang tidak memungkinkan.

"Balqis janji akan hati-hati, bu." Ini aneh. Balqis tidak ingat kapan ia belajar menyetir. Ia tidak mengalami kesulitan berarti saat membawa mobil keluar dari area parkir hingga sampai ke apartemen.

Ibu langsung berbaring di kasur usai kakinya dibalurkan salep pereda sakit oleh Balqis. Balqis lalu menutup pintu kamar ibu. Ia duduk di sofa depan tv untuk membongkar barang belanjanya. Saat tengah asyik membentangkan kain sutera halus berwarna ungu muda, Raihan terbangun. Ia menangis sangat kencang. Balqis tadi meletakkan Raihan yang tertidur di kereta bayi samping sofa.

"Duh, berisik banget sih nih anak." Balqis menghampiri Raihan. Raihan menggeliat di atas kasur mungilnya yang bercorak serba biru.

"Kenapa, dek..." Seketika Raihan terdiam mendengar suara Balqis. Lalu, ia menangis lagi. Balqis berusaha menenangkan Raihan dengan membuat suara desis, menyanyi, bersalawat, hingga berdecak menirukan suara cicak. Semuanya tak membuahkan hasil. Balqis pergi ke kamar ibu. Maksudnya untuk meminta bantuan ibu. Tapi, ia tidak tega. Mengingat ibu yang baru terlelap tidur. Balqis kembali ke ruang tv. Ia lalu mengangkat tubuh Raihan dengan sangat hati-hati.

Cinnamon Tea DelightWhere stories live. Discover now