Aroma Yang Kuingat Dari Pertemuan Kita

65 1 0
                                    

Aroma kopi dan suara-suara pengunjung kedai menemani Balqis yang duduk sendiri di meja nomor 7. Nomor meja yang sama dengan meja di kantin, saat ia dan Fahru pertama kali bertatap muka. Hanya saja meja di kedai kopi ini tidak dekat dengan jendela. Balqis tidak bisa mendapat meja yang dekat dengan jendela karena sudah terisi semua. Baginya, sesekali memandang keluar saat mengobrol cukup menenangkan. Meski tidak tahu apa yang diperhatikannya di luar.

Coffee latte tanpa gulanya sudah berkurang setengah. Balqis melirik jam tangannya. Sudah hampir pukul 11 tepat. Membunuh rasa bosan menunggu, Balqis memilih memakan satu demi satu kacang pistachio yang dipesannya bersama dengan latte.

Beep. Beep. Sebuah bbm masuk.

Balqis, ibu udah selesai rapat nih. Tadinya ibu mau nyusul kamu ke sana,

tapi...Nak Fahru bilang ibu tunggu di lobi aja.

Iya, bu...nggak apa-apa...ibu tunggu di sana aja sampai kita selesai

ngomong

padahal ibu kan mau ketemu sama supir itu...:(

tapi, kalau Nak Fahru bilang gitu ya...udah deh...kamu hati-hati ya, jangan

asal bicara...

ok.

Kini, ia merasa resah. Ternyata ibu tak diperbolehkan ikut. Padahal ia takut sama dirinya sendiri kalau-kalau mengucapkan kalimat bodoh atau perilaku yang tidak semestinya. Hmm...tapi, ada baiknya juga nggak ada ibu. Biar kita bisa mengatasi masalah sendiri. Kan sesama anak muda. Okelah...keren juga ini coach caranya.

Balqis memesan kudapan lainnya untuk meredakan kecemasannya. Pilihannya jatuh pada apple pie. Satu suapan saja cemasnya surut perlahan. Kenapa, Qis? Karena ini yang kamu inginkan kan? Untuk bertemu dengan orang yang udah bikin kamu unmood seharian. Berlebihan memang. Tapi begitu kenyataannya...

Apple pie di kedai ini lezat sekali hingga Balqis tak henti menggigitnya terus piece by piece. Remah-remah pie menggantung di sekitar mulut dan pipinya. "Maaf, kamu udah lama nunggu ya?" suara pria yang sedang ditunggunya itu memiliki power untuk menghentikan makan Balqis. Balqis lalu memandang ke atas, ke arah pemilik suara.

Masya Allah. Mas Sandi ganteng banget. Wajahnya glowing. Dia pakai bb cream merk apa sih? Fahru membungkukkan sedikit badannya demi bisa melihat wajah Balqis lebih dekat. Spontan, Balqis mengerjap. Dia tersadar dari lamunan sekejapnya. "Oh, hai Mas Sandi? Assala...mu...mu...'alaikum."

"Wa'alaikumussalam." Fahru menarik kursi yang ada tepat di seberang Balqis. "Wah, kamu udah lama nunggu ya?" tanya Fahru seraya memperhatikan dua piring kosong bekas makanan Balqis.

"I...ini iya. Eh, nggak juga ding. Aku kelaparan tadi habis dari kampus jadi ya pesan makan tadi. Belum lama nunggu kok, mas." Balqis canggung. Fahru melemparkan senyum. Senyum yang bisa ia usahakan sebagai ganti dari tertawa. Remah-remah di wajah Balqis yang mengundang tawanya. Dan Fahru sudah memperhatikan Balqis sejak potongan pie pertama masuk ke dalam mulutnya.

Balqis menegakkan punggungnya. Ia lalu menyingkirkan piring di dekat tangannya dan merapikan kerutan taplak meja supaya tidak mengganggu saat berbicara. Kerudungnya pun tak luput dari pembenahan. "Mas Sandi...eh, maksudku Mas Fahru kok datang sendiri? Katanya mau bawa supirnya? Dimana dia?" Balqis mengalihkan pandangannya sedikit ke kondisi kedai di belakang Fahru. Tak ada siapa pun yang mengikuti Fahru. Lalu, dimana supir itu?

"Sebentar ya...saya mau pesan minum dulu. Sudah haus dari tadi." Fahru melambaikan tangan ke arah waiter. Tak lama kemudian, minuman yang menggugah selera itu pun datang bersama camilan churros. Balqis menelan ludah. Ingin rasanya pesan yang sama. Tapi...ah, malunya. Seloyang apple pie dan pistachio sudah jadi barang bukti betapa ganasnya kerongkongan Balqis hari ini. Biar bagaimana pun Balqis harus bisa jaga image di depan coach kesayangan ibunya. Fahru sangat menikmati minumannya. Dari aroma yang menguap, Balqis menangkap pasti ada cinnamon di dalam minuman itu.

"Ini cinnamon mocca float alias susu moka kayu manis. Kamu harus coba. Bisa bikin rileks sekaligus menambah asupan energi setelah terkuras seharian. Apa mau aku pesankan, Balqis?" Fahru tiba-tiba menatap Balqis yang dari tadi memang sedang memperhatikan Fahru.

"Ah, nggak usah. Makasih, Mas Sandi. Aku udah cukup kenyang. Latte-ku aja masih ada."

Sebentar...tadi dia bilang apa? 'Aku'? nggak salah? Biasanya formil banget, pakai 'saya'?

Fahru menggeser gelasnya sedikit ke kanan. Ia lalu meletakkan sebuah kantung kertas di atas meja. Di dalam kantung itu ada plastik kedap udara berisi celana jeans berbercak milik Balqis. Saat kedua tangan Fahru bergerak mengeluarkan plastik, Balqis dapat mencium aroma musk dan wood yang menenangkan. Ini parfum atau body butter-nya Mas Sandi sih? Kok enak aromanya...Balqis mulai gagal fokus.

"Ini celana kamu. Saya kembalikan. Dan...supir yang kamu cari, sekarang ada di hadapanmu. Maaf ya, Balqis. Hari itu saya benar-benar sudah terlambat ke kampus karena baru sampai dari Semarang dan langsung diminta paman saya untuk menggantikan rekannya. Paman saya, rektor di kampus kamu, tidak bisa mengajar karena ada masalah pada kakinya. Harusnya saya naik taksi atau ojek online saja biar nggak usah nyetir. Tapi karena saya buru-buru, jadi ya...terpaksa harus nyetir sendiri. Sementara, supir saya lagi sakit di hari yang sama. Kamu benar, Balqis. Saya bisa mencelakakan orang lain kalau bawa mobilnya seperti itu. Saya benar-benar nggak berpikir sampai sana. Maunya langsung sampai kampus saja. Maafkan saya. Sekali lagi maafkan saya. Sudah bikin hari kamu nge-betein ya seharian?" Fahru menundukkan kepalanya sesaat. Lalu, ia kembali menatap Balqis. Sementara, Balqis melongo. Tak percaya rasanya. Kalau supir itu dia.

"Mas...nggak bohong, kan? Aku bakal maafin kalau supir itu benar-benar Mas Sandi." Balqis meminta untuk diyakinkan sekali lagi. Fahru mengangguk.

"Ya, that's me." Jawabnya singkat.

Balqis menghela napas lega seraya berkata,"oh..."

Beberapa menit kemudian, Balqis dan Fahru keluar dari kedai kopi. Fahru mengucapkan terima kasih pada Balqis karena ia telah memaafkan perbuatan tak sengajanya. Sebaliknya, Balqis malah meminta maaf karena sudah bersikap berlebihan. Balqis menceritakan detilnya bagaimana mood-nya hancur parah hari itu setelah insiden terciprat air genangan. Terlebih, celana jeans itu dibelinya dengan hasil uang kerjanya sendiri sewaktu pertukaran pelajar ke Kanada.

Fahru tertawa renyah mendengarnya. Ia teringat akan seseorang yang pernah dikenalnya di masa lalu. Seorang gadis yang tak bisa tinggal diam melihat hal yang tidak beres di depan matanya.

Keduanya lalu tertawa bersama sambil berjalan menuju kantor Fahru. Di area parkir kedai kopi, Fahru dan Balqis berpapasan dengan pria berambut kribo, bermata besar, dan bertubuh gempal.

"Balqis ya? Lho, sama siapa?" tanyanya.

Balqis kenal pria itu. Ia lalu bergerak dua langkah ke kiri. Sedikit menjauhi Fahru. "Mas Barli? Ini...kenalin, Mas Sandi. Dosen di kampus Balqis." Begitu cara Balqis mengatasi kegugupannya. Seolah ia telah tertangkap basah oleh Barli. Tapi, apa salahnya dirinya? Toh, antara ia dan Zaki tak ada apa-apa.

"Oh, wuidih...sekarang sama dosen nih jalannya. Betewe, Zaki nggak diajak?" Barli bermaksud mencandainya. Namun, Balqis malah makin salah tingkah. Akhirnya Balqis segera membuat alasan untuk segera pergi dari sana.

"Maaf ya, Mas Barli. Aku duluan soalnya udah ditunggu sama anak-anak di kantor itu." Balqis menunjuk ke kantor training milik Fahru di seberang jalan.

Barli melihat ke arah yang ditunjuk. "Oh, iya...iya...silakan."

Balqis menggamit lengan Fahru dan segera menariknya pelan supaya segera pergi dari hadapan Barli.

"Bah, rajin kali anak itu. Ikut bisnis MLM rupanya dia. Wah, Kalau Balqis sama teman-temannya aja ikutan bisnis air ajaib itu, berarti itu bisnis yang cukup menguntungkan. Buktinya bisa narik anak muda ke sana. Ah, aku mau daftar deh besok kalau honorku dah turun." Barli berpikir sendiri sambil melihat Balqis dan dosennya pergi terburu-buru. Ia lalu masuk ke kedai kopi untuk meeting.

©

Cinnamon Tea DelightWhere stories live. Discover now