Saya Sandi

68 2 0
                                    

"Kenalkan. Saya Sandi." Ucap pria yang duduk di hadapan Balqis. Senyumnya menawan hati Balqis. Tulus dan bersahaja.

"Saya Balqis. Maaf, saya baru lihat mas deh. Mas ini mahasiswa atau dosen?"

Pria itu tertawa. "Apa saya pantas jadi dosen? Apa saya setua itu?"

"Ma...maaf. bukan begitu maksud saya. Barangkali mas ini dosen muda gitu lho?" Balqis menggigit bibirnya.

Senyum itu ditunjukkannya lagi. Melihatnya membuat Balqis lupa dengan apa yang baru saja terjadi antara dia dan Zaki di perpustakaan. Dialog tentang perasaan yang tak ada ujungnya.

"Tepat sekali. Saya dosen di sini. Hanya sementara saja menggantikan dosen Bahasa Arab yang sedang umroh."

©

"Balqis. Kenalkan ini owner sekaligus trainer dari Sisilia Water, Fahrudin Sandiyudha. Dan, coach, kenalkan anak kesayangan saya, Balqis Syahputri."

Balqis berdiri mematung. Begitu juga dengan Fahru yang masih duduk di tempatnya. "Lho, mas Sandi? Cinnamon tea?"

Senyumnya mengembang. "Ah, jadi anak Bu Venita itu dek Balqis ya?" ucap Fahru dengan kilatan semangat yang sama saat mereka pertama bertemu.

"Iya, coach. Lho kalian berdua sudah saling kenal?" ibu melihat ke Balqis lalu ke Fahru. Seolah tak percaya. "Cinnamon tea? Mas Sandi? Maksudnya?"

Balqis menjelaskan bagaimana ia dan Fahru bertemu untuk pertama kalinya. Ia mempraktekkan dengan body language supaya lebih meyakinkan. Ini salah satu kelebihan Balqis. Sehingga bisa attract people to see her saat bercerita. Bagaimana Balqis memesan teh manis hangat dengan suaranya yang sengau karena habis menangis. Tapi, Balqis bilang karena ia sedang flu. Dan bagaimana sampai ia dan Fahru berada dalam satu meja di kantin. Balqis menceritakannya dengan runut. Membuat kedua mata ibunya berbinar. Ternyata...takdir mempertemukan mereka sendiri.

"Wah, Balqis. Kamu berbakat sekali jadi story teller. Atau mungkin reporter. Atau...penulis?" puji Fahru setelah Balqis menyelesaikan cerita. Ibu langsung menyela dengan pujian yang menyatakan kalau Balqis memang seorang penulis. Ia lalu mengambil ponsel dan menunjukkan home website yang memuat cerpen Balqis pada urutan teratas selama tiga bulan berturut-turut.

"Ternyata benar dugaan saya. Seorang penulis. Hebat sekali. Selamat ya?" Fahru mengulurkan tangannya. Balqis spontan menarik tangannya hingga ke depan dada. Entahlah. Ia tiba-tiba tak ingin tangannya menyentuh kulit laki-laki lain di luar keluarganya. Fahru pun mengerti.

Dulu, ia pun seperti itu. Enggan bersentuhan kulit dengan lawan jenis. Hingga ia tenggelam dalam hiruk pikuk bisnisnya. Banyak bertemu orang yang mengharuskannya berinteraksi dengan lebih luwes. Akhirnya Fahru melakukan seperti yang kebanyakan orang lakukan. Berjabat tangan dengan hangat. Tidak peduli ia laki-laki atau perempuan. Karena itu cara yang umum dilakukan untuk menghargai orang lain. Terutama mereka yang akan bermitra dengannya.

Hari ini, melalui Balqis, ia seolah diingatkan kembali untuk berlaku selayaknya seorang muslim. Bukan untuk menjadi perfect, melainkan untuk menjalankan hal sesuai keyakinan agamanya. Karena informasi tentang bersentuhan kulit ini sudah sampai sejak Fahru berusia 15 tahun. Maka, sudah seharusnya ia berusaha untuk melakukannya. Walau sulit.

"Lalu, kenapa Mas Fahru memperkenalkan diri sebagai Mas Sandi?" tanya Balqis saat mereka mulai duduk santai sambil minum teh dan makan jajanan pasar yang dibawa Balqis.

Cinnamon Tea DelightWhere stories live. Discover now