Pilihan Ayah 1

156 1 0
                                    

Balqis baru meletakkan ankle boots ungu gelap berbahan suede ke atas rak sepatu ketika tiba-tiba...

"Ba...Balqis?" tanyanya pelan. Lebih tepatnya ragu-ragu.

Balqis segera menoleh ke arah datangnya suara. "Iya? Oh...Kak Zaki?"

Salat maghrib berjamaah dilakukan dalam ruangan berukuran 3m x 6m. Musholanya tak terlalu besar tapi nyaman dan wangi. Zaki bersalaman dengan jamaah laki-laki lainnya. Begitu selesai, pandangannya segera ia arahkan ke belakang. Tempat jamaah perempuan berada. Sudah kosong. Zaki keluar dari mushola. Di teras, ia akhirnya menemukan Balqis.

"Udah mau pulang ya?" sapa Zaki.

"Eh, iya nih kak." Balqis menoleh sebentar ke atas lalu kembali sibuk dengan strap sepatunya.

"Ke arah mana? Pulangnya?" Zaki merogoh saku celana bahannya.

©

Lima belas menit. Berada berdua di mobil Zaki. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga akhirnya kemacetan meruntuhkan balok-balok pertahanan yang sudah tersusun tinggi sejak lima belas menit tadi.

Zaki dan Balqis sama-sama memuntahkan kata pertama yang asal saja mereka tangkap di kepala. Di antara sekian banyak kata yang beterbangan di kepala.

"Eh. Kak Zaki duluan deh..." sambut Balqis.

Zaki mengatupkan mulutnya perlahan. "Kamu duluan aja, Qis."

Qis? Duh, kenapa coba nyingkat namanya harus 'Qis'... Sesal Zaki dalam hati. Dia merasa...sok akrab banget sih.

Balqis memojokkan dirinya ke pintu mobil. Tubuhnya kini cukup serong ke kanan sehingga lebih santai buat bicara. "Udah sering jadi moderator ya, kak?"

Mobil berbelok ke kanan di perempatan jalan. "Hmm...ya...lumayan. Kamu sendiri? Sering ikut bedah-bedah buku?"

"Baru kali ini sih. Kalau bedah buku Islami. Tapi kalau bedah buku umum plus bedah novel yang mau difilm-in sih sering. Betewe, tadi tuh bedah bukunya smooth banget. Kupikir bakalan kaku gitu karena yang dibedah buku Islami. Mungkin karena moderatornya Kak Zaki?" Balqis menoleh ke Zaki yang duduk tegap di bangku supir.

"Ah, itu...pasti karena speakernya Kang Abik. Terus bukunya itu, bikin ghirah tersendiri. Jadi saya sebagai moderator juga enak ngebawainnya." Jelas Zaki singkat. Sesaat tadi Zaki sempat menatap Balqis. Ia menangkap lost in conversation saat dirinya mengatakan tentang ghirah. "Bukunya tuh memancarkan aura semangat. Menggerakkan jiwa gitu. Bikin setiap yang baca tambah semangat jalani aktivitasnya. Apalagi anak muda macam kita ini."

Balqis manggut-manggut. Kakak seniornya ini memang benar seperti yang dikatakan Giska. Keren. Intonasi di setiap kata yang diucapkannya bukanlah intonasi biasa. Intonasi yang ingin selalu didengar. Terutama buat gadis sepertinya. Yang mood-nya kerap turun-naik. Dan kadang masih suka tanya sama diri sendiri apakah jurusan psikologi ini memang minatnya, bukan karena lulus SBMPTN dengan pilihan cap-cip-cup dan asal kuliah di negeri aja demi nyenengin ibu.

Lampu merah. Tak lama kemudian ketukan pada kaca mobil Zaki menghentikan perjalanan pikiran Balqis. Balqis membuka jendela dan mengulurkan peanut cracker pada bocah pengamen yang baru selesai memainkan ukulelenya. "Makasih, kakak manis." Ucap bocah itu. Ia lalu pergi sambil mengayunkan peanut cracker ke udara. Ekspresi kebahagiaan. Balqis tersenyum melihatnya.

"Kakak mau?" Balqis mengulurkan cracker ke Zaki.

"Ng...makasih." Zaki mengambilnya dengan gerakan melambat.

Cinnamon Tea DelightWhere stories live. Discover now