“Maaf, aku terlalu tutup mata. Sampai aku tidak menyadari kehadiran cintamu yang begitu hangat menyapa.”
🌌🌞🌌
Vespa Jingga mulai melaju di jalanan yang masih licin karena hujan baru saja reda. Suara bising semakin terdengar keras ketika Jingga menambah kecepatan vespanya.
Tangan Mega yang tadinya ia sembunyikan di saku jaket berpindah berpegangan erat sisi-sisi tas ransel yang menggantung di punggung Jingga karena takut terjatuh. Persetan dengan angin kencang yang membuat tangannya kedinginan.Jingga yang menyadari hal itu karena merasa tubuhnya ditertarik tas ranselnya kebelakang, membuka suara, "Mana tangan lo?" tanyanya seraya mengadahkan tangan kirinya di samping pinggang.
Suara Jingga yang sayup-sayup, tak tertangkap oleh indra pendengaran Mega. Membuat gadis itu memajukan kepalanya mendekati Jingga, "Lo bilang apa?"
"Tangan lo bawa sini," titah Jingga memperjelas ucapannya.
"Nggak mau ah. Entar para cewek yang ngefans lo ngelabrak gue."
"Yaudah, kalo lo nggak mau. Maksud gue biar tangan lo nggak kedinginan," ujar Jingga berniat menarik tangannya untuk kembali mengendalikan kemudi. Namun, Mega lebih dulu memajukan tangannya dan diterima oleh tangan Jingga lantas dimasukkan ke dalam saku depan hoodie-nya.
"Lo bisa masukin tangan kanan lo sendiri 'kan?"
Mega berdecak mendengar pertanyaan Jingga yang seakan menganggapnya anak kecil. Walaupun begitu ia tak urung membawa tangan kanannya merasakan kehangatan seperti sepasangnya.
"Setelah istirahat tadi, Lo bolos pelajaran kemana?" tanya Mega saat lampu traffic light menyala warna merah.
"Ke rooftop. Tadi gue lagi males masuk ke kelas," jawab Jingga sedikit berbohong tentang alasannya membolos yang sebenarnya tidak ditanyakan Mega.
"Tapi lo 'kan tadi pagi udah nggak ikut pelajaran karena dihukum Bu Lena. Sebentar lagi UKK lho Ga. Lo udah mau naik kelas dua belas," ujar Mega dengan suara meninggi, berniat mengingatkan Jingga yang masih saja belum berubah. Suka membolos.
Namun, apa yang ditangkap oleh Jingga berbeda. Ia berasumsi bahwa Mega untuk kesekian kalinya kecewa padanya. Bahkan, mungkin cewek itu sudah jengah menasehatinya dan lama-kelamaan akan meninggalkannya.
"Gue 'kan punya sahabat pinter yang bisa ngajarin gue kapan aja. Jadi nggak masalah dua kali mbolos pelajaran." Jingga kembali melajukan vespanya seraya berharap dalam hati, Mega akan larut dalam gurauannya dan melupakan rasa kecewa itu.
"Gue kok nggak yakin sahabat lo pintar. Soalnya mau-mau aja ngajarin cowok males kayak lo."
Jingga menganggukkan kepalanya, "Iya, gue juga berpikir kayak gitu. Gue bilang dia pintar cuma biar dia tetep mau ngajarin gue." ia menyempatkan melihat ekspresi Mega lewat kaca spion. Ternyata cewek itu berhasil menjaga ekspresinya untuk tetap tenang.
Seringai jahil tercetak di bibir Jingga, "Eh, lo jangan bilang ke siapa-siapa ya ... apalagi ke orangnya," ujarnya seakan mewanti-wanti.
"Oke, gue bisa di percaya kok."
"Sebenarnya lo penasaran nggak sih sama sahabat gue itu?" tanya Jingga mulai memancing.
"Emang siapa? Gue kenal nggak?"
"Hmm ... pokoknya sahabat gue itu perempuan. Orangnya bawel, ribet, dan nggak bisa tenang. Yang lebih parahnya lagi, dia sensian sama persis seperti singa betina mau beranak. Tadi pagi aja gue baru kena sem-- aw ..." benar dugaan Jingga, Mega akhirnya emosi juga.
Tangan kiri Jingga mengusap bekas cubitan Mega di pinggangnya yang tak terasa sakit. Ia terkekeh pelan melihat raut kesal Mega dari kaca spion, "Bercanda kali, Meg. Kalau gue nganggep lo bodoh, nggak mungkin gue mau privat sama lo."
"Privat? Kayak lo pernah bayarin gue?" tanya Mega terdengar menantang.
"Gue bayar lo-nya nggak dalam bentuk uang. Tapi lewat pelukan saat lo butuh ketenangan."
Seketika Mega meletakkan kepalanya di pundak Jingga dengan kulit wajah yang masih bebas terkena terpaan angin selepas hujan. Ia membenarkan ucapan Jingga. Lelaki itu memang selalu ada, saat dirinya membutuhkan ketenangan yang beberapa tahun belakangan ini kehilangan si empunya.
Tanpa Mega sadari, kedua sudut bibir Jingga terangkat. Hanya dengan gadis ini dan seorang lelaki tua yang sudah lama tak ditemuinya, ia bisa tersenyum tanpa paksaan ataupun kepura-puraan.
Ujung jari telunjuk Mega bergerak menciptakan gambaran abstrak tak terlihat diatas knitwork twisted black hoodie yang membalut kemeja seragam putih Jingga, "Ga, lo tadi mbolos sama siapa?"
"Sendiri."
"Nggak ngerokok 'kan?"
"Tenang aja, seharian ini gue belum ngerokok," jawab Jingga yang jelas-jelas membohongi Mega. Bagaimana tidak, disaat Mega yang menjadi masalahnya, hanya dengan menghisap tembakau ia bisa merasa seakan lepas dari masalah. Semua emosi dan ke frustasiannya seakan menguap begitu saja.
🌌🌞🌌
Setelah mengantar Mega pulang dari toko buku sore tadi, entah mengapa Jingga langsung kembali ke rumahnya yang terletak berhadapan dengan rumah Mega.
Biasanya mereka akan menghabiskan senja bersama di taman rumah Mega seraya bermain dengan burung merpati peninggalan ayah gadis itu. Dan malam harinya, bila Jingga tidak ketiduran maka mereka akan belajar bersama di balkon rumah Mega. Lebih tepatnya Jingga meminta Mega mengerjakan tugas sekolah cowok itu. Dengan alasan tidak paham terhadap apa yang diterangkan Mega sebelumnya.
Mega mendengus mengingat tingkah Jingga yang malam ini belum dilihatnya. Ia melirik jam beker yang berada di atas nakasnya. Lantas beranjak berdiri dari kasur dan mengganti pakaian yang lebih sopan. Ya, ia berniat menghampiri Jingga dan mengajak cowok itu untuk belajar bersama.
Sebelum keluar dari kamarnya, Mega mematut dirinya di depan cermin. Tangannya bergerak mengubah rambutnya yang digelung asal menjadi dikuncir kuda.
Dengan beberapa buku yang ada di pelukannya, Mega berjalan menuju pintu rumahnya. Saat melewati kamar mamanya, ia mendekati ruangan terutup itu. Sempat terpikir untuk berpamitan dengan mamanya. Tapi sekelebat bayangan yang tiba-tiba tergambar di memorinya, membuat Mega enggan dan kembali melanjutkan langkahnya dan meninggalkan kamar itu di belakang.
Jingga terlihat sudah berada di atas vespa cowok itu ketika Mega sedikit membuka gerbang rumahnya. Ia mengukir senyum kala pandangan keduanya bertemu. Namun tidak berlangsung lama karena Jingga tidak balik tersenyum dan memilih melaju kencang meninggalkannya yang kebingungan melihat sikap dingin cowok itu.
🌌🌞🌌
Semoga dapat fellnya ya guys
Aku nggak terlalu bisa bikin adegan romantis 😞
Jangan lupa tinggalkan jejak ...
Happy reading ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Semburat Jingga
Teen FictionBagi Jingga, Mega adalah kanfas putihnya. Tempat ternyamanya melukiskan senyum juga berbagi kehangatan melalui semburat fajar maupun senja. Namun, tidak dengan Mega yang menganggap Jingga hanyalah teman yang setia bersamanya menyusuri lorong panjan...