Semburat 6

148 100 78
                                    

"Aku ingin kamu tahu bahwa aku peduli. Agar ke depannya bersamaku, kamu tak lagi enggan berbagi masalah yang sedang kamu hadapi."

🌌🌞🌌

Tante Felya :
Mega, kamu tahu Jingga ada dimana? Pasalnya tadi malam Jingga pergi tanpa pamit sama orang rumah dan sampai sekarang belum pulang, mungkin Jingga bilang sama kamu mau pergi kemana gitu.

    Pesan panjang dari Tante Felya--mama Jingga yang menghampiri ponselnya mengejutkan Mega di pagi hari ini. Tanpa diminta ingatan Mega mengulas ulang sikap Jingga yang dingin tidak seperti biasanya. Tatapan Jingga yang selalu bisa menenangkannya pun, tadi malam terasa berbeda. Seakan penuh amarah dan siap membunuh siapa saja yang mencari gara-gara dengan cowok itu.

    Drrt... Drrt... Drrt...

    Getaran ponsel yang masih ada di genggamannya, membuyarkan lamunan Mega tentang Jingga. Notifikasi pesan dari Tante Felya yang kembali terpampang menyadarkannya bahwa sejak tadi ia belum membalas pesan dari wanita yang selalu lembut kepadanya itu.

Tante Felya :
Sebelumnya tante minta maaf ganggu kamu pagi-pagi.

Nggak ganggu kok tante. Tapi maaf Mega nggak tahu Jingga ada dimana.

    Setelah mengirimkan balasan untuk Tante Felya, Mega beranjak mandi. Berharap setelah mandi, bayang-bayang perubahan sikap Jingga yang kini masih menari-nari dipikirannya menghilang. Tapi nyatanya, walaupun ia sudah rapi dan siap untuk pergi ke sekolah pun hal itu masih memenuhi pikirannya.

'Tok Tok Tok '

   "Non?" panggil suara melengking di balik pintu kamarnya yang Mega yakini milik Bik Yuri, pembantu yang bekerja setengah waktu di rumahnya.

   "Aku udah bangun, Bik," seru Mega hafal dengan kebiasaan Bik Yuri yang setiap pagi membangunkannya.

   "Bibi tau. Bibi cuma mau bilang, Non ditungguin Aden di bawah."

    Gerakan tangan Mega yang sedang menyisir rambut di depan meja rias terhenti. Sejenak ia terdiam mendengar kata 'Aden' yang merupakan panggilan Bik Yuri untuk Jingga sebelum cepat-cepat ia menggeleng pelan. Kalau Jingga ada dirumahnya, pasti Jingga sudah pulang terlebih dulu dan Tante Felya tidak akan menyakan keberadaan Jingga seperti beberapa menit lalu.

    "Siap-siapnya jangan lama Non. Nanti Aden nunggunya kelamaan," Bik Yuri berbicara dengan suara yang naik beberapa oktaf, membuat Mega terkesiap dan langsung meneriakkan jawaban untuk wanita paruh baya itu, "Iya, sebentar lagi selesai."

    Dengan segera Mega menyambar tas berwarna biru tosca yang biasa menemaninya menuntut ilmu. Lantas berjalan keluar dari kamarnya, menuruni tangga menuju lantai dasar. Di anak tangga terakhir ia memperlambat langkahnya saat melihat mamanya yang sedang membaca majalah ditemani secangkir susu coklat di ruang makan. Jujur, ia merindukan saat-saat dirinya bersama mamanya menyeduh minuman itu untuk dinikmati keluarga bahagianya dulu jauh sebelum takdir menyesakkan menghancurkan semuanya.

    "Non, jangan berdiri di situ aja. Ayo sarapan, biar nggak telat ke sekolah. Aden juga udah kesini, nungguin Non dari tadi," ujar Bik Yuri yang baru kembali dari ruang tamu dengan membawa nampan di pelukannya.

    Mega hanya bergeming. Ia lagi-lagi merasa tidak percaya Jingga ada dirumahnya. Sampai genggaman hangat pada tangannya, menarik dirinya ke salah satu kursi yang mengelilingi meja makan. Menyadari mamanya yang melakukan itu, ia menyentakkan tangannya pelan, membuat genggaman yang baru beberapa saat bersinggah ditangannya terlepas.

    Mendapati mimik wajah mamanya yang terlihat sedih, Mega melangkah lebar meninggalkan ruang makan tanpa sepatah katapun. Jujur hatinya teriris karena telah melakukan hal tadi kepada mamanya, tapi entah mengapa raga Mega justru berkata lain.

    Sesampainya di ruang tamu, Mega bersyukur menemukan Jingga, satu-satunya orang yang bisa membawa ketenangan untuk dirinya. Karena hal itu yang saat ini ia butuhkan.

🌌🌞🌌

    "Tadi kok Tante Felya ngechat gue tanyain keberadaan lo. Emang lo belum pulang ke rumah?"

    Setelah beberapa saat mengatupkan bibir, Mega memilih membuka pembicaraan. Karena jika ia membiarkan suasana hening semakin menjadi, maka apa yang baru saja ia lakukan kepada mamanya akan bertambah jelas berputar di memorinya, membuat penyesalan yang berusaha ia sangkal, hadir dan seakan menghakiminya. Walaupun sebenarnya ia ragu mengajak bicara Jingga mengingat perubahan sikap cowok itu semalam kepadanya.

    Mendengar pertanyaan Mega, rahang Jingga terlihat mengeras, "Nggak sempat," jawabnya singkat.

    "Tapi lo sempat ke rumah gue dan nganterin gue ke sekolah?" tanya Mega mulai tersulut emosi mendengar jawaban Jingga yang tidak merasa bersalah.

    "Itu urusannya beda lagi."

    "Iya itu urusannya memang beda. Dan harusnya lo lebih memprioritaskan orang tua lo. Kasihan tante Felya nyariin lo, beliau khawatir kalau ada apa-apa yang menimpa lo."

    Jingga tersenyum miring, "Semua itu bullshit. Dia cuma takut kalau suaminya tahu gue pergi. Dia enggak khawatir sama gue, terlebih alasan dia khawatir karena gue anaknya."

    Mega memicingkan matanya ke arah Jingga, "Maksud lo bilang Tante Felya kayak gitu apa?"

🌌🌞🌌

Ada yang penasaran??? #ngarep lo thor 😜
No problem kalau nggak ada yg penasaran. Yg penting masih ada yg nungguin cerita ini (?)
Btw, maaf yaa pendek.

Semoga suka dan happy reading readers ^^

Semburat JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang