“Dalam hidup, setiap orang mempunyai ujiannya masing-masing. Jadi jangan iri terhadap hidup orang yang terlihat bahagia. Bisa saja ujian yang menimpa orang itu lebih besar daripada ujian yang tengah kamu alami.”
🌌🌞🌌
Begitu guru pelajaran terakhir keluar dari kelas karena bel pulang sudah berbunyi beberapa menit lalu, Mega langsung memasukkan alat tulis beserta buku-bukunya yang ada di atas meja ke dalam tas. Setelah dirasa tidak ada yang tertinggal, Mega menoleh ke arah Kisha. Teman semejanya itu terlihat tersenyum sendiri menonton drama korea yang terputar di layar ponsel.
Mega menepuk pundak Kisha pelan, "Gue pulang dulu ya ... jangan senyum-senyum sendiri, nantin yang lain ngiranya lo udah nggak waras."
Setelah mengucapkan kalimat itu, Mega segera berlalu pergi. Lebih tepatnya, menghindari Kisha yang akan mengamuk karena secara tidak langsung ia mengatai Kisha gila.
Di tengah koridor Mega merasakan ponselnya bergetar. Ia menghentikan langkahnya saat mengetahui ada pesan dari Jingga dan segera membukanya.
Jingga : Mega, lo jangan pulang dulu. Gue jemput.
Mega men-scrool layar ponselnya ke atas, berharap tidak hanya pesan itu yang berasal dari Jingga. Tapi yang terpampang justru banyak pertanyaan tentang masalah Jingga yang ia kirimkan sejak istirahat tadi dan belum dijawab satu pun oleh cowok itu.
Mega : Iya.
Jingga : Tapi gue nggak bisa nunggu di depan gerbang, takut ada guru yang lihat. Lo ke warung seberang sekolah aja yaa, gue disana.
Dengan hati diselimuti rasa kesal dan kecewa kepada Jingga, Mega kembali melanjutkan langkahnya menuju pintu gerbang sekolah dan menyeberang jalan yang ramai akan lalu lalang kendaraan.
Tidak butuh waktu lama Mega sudah berada di depan Jingga dan saat ini juga ia ingin marah dan mengatakan, "Sebegitu nggak berharganya gue menjadi sahabat lo, Ga. Sampai lo milih memendam masalah lo sendiri daripada berbagi sama gue." tapi kalimat itu hilang entah kemana sewaktu melihat Jingga tersenyum tulus walau ... rapuh, seraya menyuruhnya duduk selagi cowok itu menghabiskan mie goreng yang tinggal setengah piring.
"Gue habisin mie nya dulu bentar ya ... atau lo juga mau pesen makan apa minum gitu?" tanya Jingga di sela kegiatan menggulung mie nya.
"Nggak usah, Ga."
Tak berapa lama kemudian, Jingga beranjak dari duduknya untuk membayar, lantas menggendeng tangan Mega keluar dari warung menuju mobil yang pagi tadi digunakan untuk megantar Mega.
"Kenapa pesan dan panggilan gue tadi nggak lo bales?" tanya Mega mulai mengeluarkan kekesalan yang sempat di pendamnya saat di perjalanan pulang.
Jingga terlihat menegang, membuat Mega meyakini prasangkanya benar. "Lo belum pulang ke rumah? Apa karena masih ada masalah sama orangtua lo, Ga?"
"Gu-gue nggak ada masalah sama orang tua gue. Tadi malem gue tiba-tiba pingin mampir ke rumah saudara gue sekalian nginep. Mobil ini juga gue minjem saudara gue, vespanya gue tinggal di sana," terang Jingga berusaha meyakinkan Mega.
Mega hanya mengangguk pelan walau tidak sepenuhnya percaya perkataan Jingga. Mungkin persahabatan yang mereka bina bertahun-tahun belum bisa membuat Jingga berbagi masalahnya dengan Mega dan cewek itu berusaha mengerti.
Selang lima belas menit, mobil berhenti di depan rumah minimalis bewarna ungu. Sebelum turun Mega kembali melontarkan pertanyaan kepada Jingga.
"Habis ini lo mau ke rumah saudara lo lagi?"
"I-iya, gue mau balikin mobil dan ambil vespa gue."
"Oke, gue turun ya. Kalau nanti sore lo udah di rumah bolehlah kita ngerjain PR bareng. Makasih tumpangannya," ucap Mega memasang senyum, lantas keluar dari mobil.
Jingga mengangguk, pandangannya tertuju pada Mega dengan perasaan bersalah. Banyak kebohongan yang tadi di ucapkannya di depan sahabatnya itu, padahal ia tahu Mega peduli dengannya.
🌌🌞🌌
Dengan rambut yang belum seluruhnya kering karena baru saja mandi, Jingga melangkah menuju rumah Mega. Pintu rumah itu terbuka lebih dulu sebelum Jingga mengetuk pintu dan menampilkan wanita cantik berumur hampir setengah abad yang tak lain adalah mama Mega tengah menggandeng mesra seorang lelaki yang terlihat sebaya dengan Jingga.
Jingga hendak memberi salam, namun mama Mega lebih dulu memalingkan muka dan berlalu pergi. Melihat hal itu, bukan rasa kaget yang menghinggapi Jingga melainkan kekhawatiran terhadap kondisi Mega yang kini pasti tengah terpuruk karena harus menyaksikan sendiri kehancuran wanita yang telah melahirkannya bergonta-ganti teman kencan setiap harinya setelah kematian papanya Mega.
🌌🌞🌌
Happy reading^^
Vote dan komentarnya jangan lupa.
Semoga masih ada yang setia mengikuti cerita ini sampai akhir walau update nya lama yaa ♥
KAMU SEDANG MEMBACA
Semburat Jingga
Teen FictionBagi Jingga, Mega adalah kanfas putihnya. Tempat ternyamanya melukiskan senyum juga berbagi kehangatan melalui semburat fajar maupun senja. Namun, tidak dengan Mega yang menganggap Jingga hanyalah teman yang setia bersamanya menyusuri lorong panjan...