Semburat 11

96 50 82
                                    


    Sesampainya di depan rumahnya, Mega turun dari vespa milik Jingga. Ia tidak berniat masuk dan memilih berdiri di samping Jingga, menunggu cowok itu memberi penjelasan lebih. Tapi, Jingga hanya menaikkan sebelah alisnya, membuat Mega semakin memberengut sebal.

    "Lo nggak masuk?" tanya Jingga yang tidak mengerti keinginan Mega.

    Bukannya menjawab, Mega justru balik bertanya, "kapan lo akan ajak gue ke tempat yang kata lo 'rumah' itu?"

    Jingga mengedikkan bahunya. "Kapan-kapan, yang pasti bukan sekarang."

    "Why?"

    Jingga meletakkan kedua tangannya di bahu Mega. "Karena keadaan lo enggak cukup baik untuk kesana."

    Mega akan mengelak, namun tidak jadi saat melihat Jingga tersenyum lembut ke arahnya. "Masuklah, gue tau lo tadi habis nangis dan lo butuh waktu sendiri dulu buat menenangkan diri."

    Mega menatap manik mata Jingga yang menyiratkan ketulusan. Jingga terlalu baik dan ia begitu menyanyangi sahabatnya itu, bagaimana bisa Pelangi menuduhnya hanya memanfaatkan Jingga. Mengingat kejadian itu, tanpa bisa Mega cegah air matanya kembali menetes walau tidak sederas tadi.

    Jingga membawa Mega ke dalam pelukannya yang tanpa Mega sadari selalu memberikan ketenangan sekaligus rasa hangat.

    Tak berselang lama, Mega sudah lebih tenang dan menarik dirinya. Ia merasakan ibu jari Jingga menghapus jejak air matanya, lantas mengacak rambutnya pelan. "Sana gih masuk."

    "Oke, hmm sore ini kayak biasanya kan?"

    "Gue nggak bisa janji, soalnya gue disuruh nganter Mama. Lo nggak apa-apa kan?" Jingga terlihat merasa bersalah, apalagi saat ini Mega pasti membutukan sahabat yang bisa sedikit membuatnya lupa akan kesedihannya.

    "Nggak apa-apa, lo jangan lupa kerjain tugas dari Bu Lena, besok dikumpulin lho," ujar Mega mengingatkan.

    "Siap laksanakan." Jingga menjawab tegas seraya memasang sikap hormat, membuat Mega terkekeh melihatnya.

   "Yaudah, gue masuk dulu."

    Setelah mendapat anggukan dari Jingga, Mega berjalan memasuki rumahnya dengan kesedihan yang sudah sedikit teralihkan oleh kegeliannya terhadap kegilaan Jingga tadi.

🌌🌞🌌

    Ketika sudah duduk di kursi yang ada di taman belakang rumahnya, niat awal Mega yang akan belajar dan mengerjakan tugas sekolahnya tidak terlaksana. Mega justru melamun, tidak berniat menyentuh apalagi membuka bukunya yang ia letakkan di atas meja. Selalu seperti ini, jika Mega sedang sendiri di tempat yang menyimpan banyak kenangan yang ia rindukan.

    "Mega, buatkan minuman untuk pacar mama!" seruan mamanya dari dalam rumah membuyarkan lamunan Mega.

    "Emang bibi kemana?" Mega menyahut malas, pasalnya ia tidak sudi membuatkan minuman untuk orang yang membuat mamanya hancur pada akhirnya.

    "Bibi lagi belanja bulanan."

    Kalau sudah begini, Mega terpaksa beranjak berdiri dan menuju dapur. Tak butuh waktu lama, segelas jus jeruk sudah selesai dibuatnya. Baru saja Mega akan mengantarkannya kepada 'pacar' mamanya itu saat seorang cowok seusianya memasuki dapur, membuat Mega terkejut.

    "Ngapain lo ada di sini? Dan dari mana lo tau rumah gue?" tanya Mega beruntun dengan nada tak suka.

    Cowok itu tertawa sinis, lantas mengambil dan meminum sedikit jus jeruk yang ada di nampan yang Mega pegang.

    "Eh, asal minum aja lo!" Mega berujar marah.

    "Gue itu pacar Mama lo, jadi gue nggak salah minum jus yang dibuat emang untuk gue," balas lelaki itu menyeringai kecil.

    Mega hanya diam, memandangi cowok itu menghabiskan jusnya dengan emosi yang berusaha ia tahan.

    "Buah jatuh nggak jauh dari pohonnya. Mamanya murahan ya anaknya ikut murahan, kayak lo." Mega masih tetap diam saat cowok itu berbalik pergi setelah mengembalikan gelas pada tempatnya semula.

    Selang beberapa detik, satu kalimat yang mewakili perasaannya pada cowok itu keluar dari mulut Mega. "Gue benci lo, Pelangi."

    Mendengar itu, Pelangi menghentikan langkahnya dengan senyum puas yang terukir samar. "Harusnya sejak kemarin lo bilang kayak gitu, karena Dia tidak pantas buat lo sukai," ujarnya tanpa membalikkan badan.

    Jika saja emosi tidak menyelimutinya, mungkin Mega bisa menagkap keganjilan dalam ucapan Pelangi. Tapi sayangnya, Mega tak terlalu memikirkannya, karena kebenciannya kepada Pelangi sudah terlalu besar.

    "Honey, maaf ya aku dandannya lama. Pasti tadi kamu nungguin aku sampai bosan." suara mendayu mamanya yang berasal dari ruang tamu, membuat Mega tak lagi bisa menahan luapan kekecewaannya, terbukti dari tetesan air mata yang membasahi pipinya.

🌌🌞🌌

Author note:

Mungkin ini update terakhir sebelum benar-benar hiatus sementara :( Tapi aku usahakan untuk bisa update dalam waktu dekat ini. Semoga, ada yang setia menunggu cerita ini.

So, Happy Reading ^^

Semburat JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang