"Kebahagiaan aja lebih baik diungkapkan, apalagi kesedihan di saat kita membutuhkan seseorang untuk menenangkan."🌌🌞🌌
Pemandangan langit malam yang cerah dengan sinar rembulan tak membuat perasaan Mega membaik, justru sesak yang melingkupi hatinya semakin menjadi. Kekhawatiran akan mamanya yang menjalin hubungan dengan Pelangi tidak bisa ia hilangkan sejak sore tadi. Mega takut kalau mamanya hanya dipermainkan dan pada akhirnya akan tersakiti. Memikirkan itu, air mata Mega kembali menetes membasahi pipinya yang dingin tertepa angin. Lama-kelamaan isak tangisnya terdengar pilu, meski teredam oleh suara mesin kendaraan yang sangat dikenalinya.Mega menghapus air matanya kasar seraya mendekati pilar balkon kamarnya untuk memastikan bahwa yang baru saja melintas adalah Jingga. Dan benar saja, di bawah sana Jingga terlihat akan memasukkan vespanya ke dalam garasi rumahnya.
Seakan sadar ada yang mengawasi, Jingga mengedarkan pandangannya. Belum sempat Mega melangkah masuk kembali ke dalam kamar, manik matanya yang masih terlihat memerah karena sehabis menangis lebih dulu berserobok dengan mata jernih milik Jingga yang membuatnya terpaku di tempat.
Beberapa detik telah berlalu, namun di antara mereka berdua belum ada yang memutus pandangan. Hingga suara Jingga yang menggumamkan nama Mega dengan sarat kekhawatiran, membangunkan cewek itu dari keterpakuannya. Cepat-cepat Mega menghilang di balik kamarnya, walaupun ia tahu akan percuma karena Jingga pasti telah mengetahui bahwa ia sedang tidak baik-baik saja.
Melihat itu, Jingga langsung menyebrang menuju rumah Mega yang sudah tertutup rapat. Perlu beberapa kali ia memencet bel hingga gerbang dibuka dan menampakkan Bi Yuri yang terlihat berantakan, mungkin wanita paruh baya itu sudah sempat tidur tapi terpaksa bangun karena ada yang bertamu tak tahu waktu, ya seperti dirinya ini.
"Boleh panggilkan Mega, Bi?"
"Boleh boleh, tapi Den Jingga masuk dulu, di sini udaranya dingin, Den," ajak Bi Yuri yang sempat terlihat kaget dengan Jingga yang hampir tengah malam begini baru bertamu.
Jingga tersenyum tak enak, dalam hatinya ia bersyukur Bi Yuri langsung memepersilahkannya masuk tanpa bertanya macam-macam.
"Mau minum apa, Den?"
"Nggak perlu, Bi. Langsung panggilkan Mega saja."
"Yaudah, saya panggilkan dulu ya. Semoga saja Non Meganya belum tidur."
Jingga hanya mengangguk. Sebenarnya ia ingin menerobos ke kamar Mega untuk menemui cewek itu. Karena kalau Bi Yuri yang memanggilkan, Mega pasti beralasan atau pura-pura tidur sehingga tidak perlu menemuinya. Sadarkah Mega bahwa Jingga menghawatirkannya? Dan Jingga sampai kapanpun tidak akan membiarkan Meganya bersedih.
Jingga mengusap wajahnya frustasi, bersamaan dengan kembalinya Bi Yuri yang memasang raut tak enak dan menunduk saat sudah berada di dekatnya.
"Maaf, Den. Non Meganya--"
Tanpa menunggu Bi Yuri menyelesaikan ucapannya, Jingga berlari menaiki tangga menuju lantai dua dimana kamar Mega berada. Masa bodoh kalau nantinya ia dianggap tak sopan, karena sekarang ia harus bertemu Mega dan menenangkan cewek itu yang selalu saja memilih memendam kesedihannya sendiri, padahal ada dirinya yang bisa dijadikan tempat berbagi.
Jingga mengetuk pintu bewarna putih di depannya ini pelan. "Mega," panggilnya lembut.
Beberapa detik berselang tetap tidak ada jawaban, membuat Jingga menghela napas gusar seraya berusaha menahan dirinya yang ingin mendobrak pintu itu saja.
"Mega, gue tau lo belum tidur, please buka pintunya. Jangan seperti ini Meg ... lo nggak sendiri, ada gue yang siap mendengarkan cerita lo sampai lo merasa nggak sedih lagi. Kita biasa seneng bareng, jadi ketika salah satu dari kita bersedih pun harus bareng juga kan?"
Tidak lama setelah Jingga mengucapkannya, pintu kamar dibuka dan ia dikejutkan dengan Mega yang langsung memeluknya erat. Mega menangis, gadis itu menumpahkan segala kesedihannya dalam rengkuhan Jingga yang selalu menguatkannya untuk tetap bangkit di setiap keterpurukan.
Cukup lama mereka berdua saling memeluk dalam kebungkaman, hingga Mega yang sudah merasa lebih tenang menarik dirinya. Jingga melengkungkan senyum ketika melihat Mega yang mengucek matanya untuk menghilangkan sisa lelehan kesedihan yang bermuara disana. Tidak bisa menahan rasa gemasnya, Jingga mengacak rambut Mega lantas refleks mencium puncak kepalanya beberapa kali hingga cewek itu menghindar dengan mengerucutkan bibirnya.
"Ih, Jingga ngeselin banget deh." Mega menggerutu sebal seraya membenahi rambutnya yang berantakan.
Jingga tergelak pelan. "Sana gih cuci muka, biar gue nanti nggak malu pergi sama cewek yang matanya bengkak karena kebanyakan nangis kayak lo," candanya dengan raut jenaka.
"Dih, siapa juga yang mau pergi sama lo? Lagian gue udah ngantuk ya." Dari nada bicaranya Mega sepertinya masih kesal, membuat tawa Jingga lagi-lagi terdengar.
"Whatever, intinya gue tunggu lo di depan. Nggak boleh lebih dari 15 menit. Ok?"
Mega memutar bola matanya lantas melengos masuk ke dalam kamar untuk membenahi penampilannya tanpa menangapi Jingga yang mungkin sudah tidak waras karena kebanyakan tertawa.
🌌🌞🌌
"Bi, saya dan Mega pergi dulu ya. Nggak sampai tengah malam kok," pamit Jingga di depan rumah pada Bi Yuri yang sudah dinggap seperti ibu oleh Mega.
"Iya, aden ajak pergi aja. Kasihan Non Mega dari tadi sore ngurung di kamar terus," ujar Bi Yuri yang menuai protesan tak terima dari Mega.
Jingga terkekeh melihat interaksi keduanya, lantas mencium punggung tangan Bi Yuri dan diikuti oleh Mega.
"Hati-hati ya, Den, Non."
Langkah Mega dan Jingga yang akan keluar rumah terhenti saat sebuah mobil sedan bewarna hitam menepi di depan gerbang. Tak lama kemudian mama Mega turun dengan angun dari mobil disusul oleh seorang cowok berkemeja kotak-kotak.
Mega mengerutkan keningnya heran, melihat Jingga menyapa ramah yang dibalas cowok itu dengan tak kalah friendly ketika berhadapan. Bukankah Jingga membenci cowok itu yang tak lain adalah Pelangi, tapi kenapa terlihat akrab?
"Lo utang cerita sama gue mengenai ini, Sa," bisik Jingga kepada Pelangi yang masih dapat didengar Mega meski sayup-sayup.
Menyadari panggilan Jingga kepada Pelangi yang berbeda dari biasanya, kebingungan semakin melingkupi Mega. Berbagai pertanyaan ingin ia ajukan kepada Jingga, tapi mengingat masih ada sepasang manusia yang sangat dibencinya ini, ia memilih bungkam sampai nanti dirinya hanya berdua bersama Jingga.
🌌🌞🌌Happy Reading ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Semburat Jingga
Teen FictionBagi Jingga, Mega adalah kanfas putihnya. Tempat ternyamanya melukiskan senyum juga berbagi kehangatan melalui semburat fajar maupun senja. Namun, tidak dengan Mega yang menganggap Jingga hanyalah teman yang setia bersamanya menyusuri lorong panjan...