Gadis itu memandang burung merpati yang berada dalam sangkar tak jauh darinya dengan tatapan kosong. Meskipun raganya terlihat tenang duduk di salah satu kursi yang ada di taman belakang rumahnya, tidak dengan hatinya yang berkali-kali kembali ditikam pisau kerinduan akan kehangatan keluarganya yang kini tak lagi ada."Mega," panggil Jingga yang sudah hampir lama mengamati kesendirian gadis itu, Mega dari kejauhan.
Mendengar suara Jingga, Mega berusaha menata hatinya agar tidak menangis di depan cowok itu, lantas menoleh seraya memasang senyum, "sudah sejak tadi gue nunggu lo. Gue kira lo lupa kalau setiap sore kita biasa belajar bersama di sini."
Jingga balas tersenyum seraya mengambil duduk di kursi sebelah Mega, "enggaklah, mana mungkin gue lupa sama hal semenguntungkan itu."
Mega sedikit mengerutkan keningnya, tidak mengerti maksud ucapan Jingga barusan.
Kekehan Jingga terdengar pelan, "berkat belajar bareng lo, PR yang malas gue kerjakan jadi selesai dengan nilai yang memuaskan." 'dan yang terpenting gue bisa menghabiskan senja bersama lo, Meg,' lanjutnya yang hanya terucap dalam hati.
Mega menepuk lengan Jingga pelan, lantas ikut terkekeh. Entah pergi kemana kesedihannya tadi, yang pasti kehadiran Jingga dapat membuatnya kembali ceria.
"Ya iyalah, yang ngerjain hampir semua PR lo kan gue, lo cuma bantu-bantu sedikit. Gue jadi merasa dimanfaatkan sama lo, Ga," canda Mega pura-pura bersungut kesal.
Jingga menyengir tanpa rasa bersalah, "lo sadarnya telat. Gue sekarang udah tobat, jadi lo jelasin aja materinya sekilas. Entar PR-nya gue kerjain sendiri, kalau ada yang sulit baru gue tanya lo."
"Iyain deh biar lo bahagia."
Lalu keduanya mulai membuka buku masing-masing yang ada di atas meja depan mereka. Sembari bercanda yang kebanyakan diisi lelucon tak bermutu dari Jingga, kedua manusia yang saling melengkapi itu menghabiskan waktu senja bersama.
🌌🌞🌌
Hari ini semua murid SMA Pelita di pulangkan lebih awal dari biasanya, karena para guru akan rapat mengenai ulangan akhir semester yang diadakan kurang lebih satu bulan lagi.Jingga terlihat tenang-tenang saja meskipun banyak materi yang belum dikuasainya, bahkan ia sekarang akan berkumpul sebentar bersama teman-temannya di rooftop sekolah dan meminta Mega untuk menunggunya sampai selesai. Awalnya Mega menolak sampai terjadi perdebatan alot yang selalu dimenangkan Jingga, membuatnya dengan berat hati menerima permintaan Jingga.
"Lo nunggu di sekitaran kelas kita ya, gue cuma sebentar kok. Tapi kalau lo bosan langsung ke parkiran aja," ujar Jingga sebelum berlari kecil menaiki tangga menuju ke Rooftop.
Sudah hampir setengah jam Mega duduk menunggu di kursi panjang yang ada di depan kelasnya, hingga ponsel yang tadinya asyik ia mainkan menjadi terasa membosankan. Ia mengedarkan pandangannya ke koridor sekolah yang tidak terlalu sepi. Dan tanpa sengaja ia melihat Pelangi yang baru menuruni tangga. Jantungnya berdetak lebih kencang, kepalanya pun sudah ia tundukkan saat Pelangi justru duduk di sampingnya.
"Kenapa belum pulang?"
Mega ingin menjawab meski tidak yakin pertanyaan itu ditujukan untuknya, karena suara Pelangi yang jauh dari ramah ketika mareka berkenalan di bus beberapa hari lalu.
"Lo lagi nunggu Jingga apa Akay? Atau lagi nyari cowok lain yang lebih dari mereka berdua?" tanya Pelangi yang terdengar merendahkan.
Masih dengan kepala menunduk, Mega berusaha menenangkan dirinya. Ia harus berpikiran positif, mungkin Pelangi tidak bermaksud merendahkannya. Pelangi orang yang baik, terlihat dari awal pertemuan mereka. Meski pertemuan selanjutnya tidak sehangat pertemuan pertama.
"Di saat ada Jingga lo berlagak sangat menyayangi dia, padahal enggak kan? Itu hanya siasat biar lo bisa manfaatin dia. Waktu kemarin Jingga nggak ada lo fine-fine aja, bahkan bisa ketawa bareng Akay. Dasar cewek murahan."
Setelah mendengar kalimat celaan itu, semua asumsi Mega yang menganggap Pelangi baik langsung terhapus tak berbekas. Ia berdiri dan menatap penuh emosi ke arah Pelangi yang memasang seringai tipis.
"Gue rasa lo nggak berhak ngomong seperti tadi. Lo hanya orang luar yang nggak tahu tentang persahabatan gue dan Jingga."
Sebelum air matanya menetes, Mega berlalu dari hadapan Pelangi. Tapi baru beberapa langkah, tangannya sudah dicekal oleh Pelangi.
"Jingga beneran sahabat lo? Menurut gue sih hanya Jingga yang nganggap lo sahabat, karena bagi lo Jingga nggak lebih dari orang yang menyayangi lo sehingga mau-mau aja lo manfaatin."
Tepat setelah Pelangi menyelesaikan ucapannya, Mega menghentakkan tangannya yang dicekal Pelangi dan menampar cukup keras pipi cowok itu, lantas sedikit berlari menuju toilet perempuan yang berada di lantai dasar.
Mega yakin air matanya sudah menetes deras, jadi tanpa memastikan lewat cermin lebih dulu ia langsung membasuh wajahnya. Berlembar-lembar tisu ia sapukan di wajahnya agar tidak ada embun air yang tertinggal. Ia menghela napas panjang seraya merapikan tampilannya di depan cermin sebelum keluar.
Sebenarnya Mega berniat pulang naik angkutan umum saja, tetapi pesan singkat dari Jingga yang mengabarkan telah menunggunya di parkiran, membuatnya terpaksa mengurungkan niatnya.
Kening Jingga sedikit berkerut saat melihat Mega sampai di depannya yang sudah duduk di atas vespa. Iris matanya mengamati lekat wajah Mega yang sayu. Menyadari hal itu, Mega langsung naik di belakang Jingga agar cowok itu tidak menangkap dirinya habis menangis. Syukurlah Jingga tak banyak bicara dan menjalankan vespanya. Mungkin, cowok itu mengerti suasana hatinya yang sedang tak baik.
"Meg, tadinya gue mau ajak lo ke suatu tempat. Tapi sepertinya lo lagi nggak enak badan, jadi lain kali ajalah," ujar Jingga di tengah perjalanan pulang.
"Emang mau kemana?"
"Ke rumah gue, tapi lain kali ajalah ya."
Di tempatnya, kebingungan langsung menghinggapi benak Mega. "Maksud lo apa? Bukannya rumah lo itu yang ada di depan rumah gue?"
Dari kaca spion Jingga terlihat mengukir senyum, "bagi gue, itu hanya tempat tinggal bukan rumah, karena gue nggak pernah merasa pulang saat berada di sana."
Dan Mega semakin bertambah bingung sekaligus penasaran mendengar apa yang baru saja Jingga katakan. Itu bukan jawaban, melainkan clue yang seakan menyuruh Mega untuk mencari jawabannya sendiri.
🌌🌞🌌
Happy Reading ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Semburat Jingga
Novela JuvenilBagi Jingga, Mega adalah kanfas putihnya. Tempat ternyamanya melukiskan senyum juga berbagi kehangatan melalui semburat fajar maupun senja. Namun, tidak dengan Mega yang menganggap Jingga hanyalah teman yang setia bersamanya menyusuri lorong panjan...