"Ga, sebenarnya lo masih benci Pelangi apa nggak sih?" tanya Mega yang akhirnya lelah menebak-nebak sendiri sejak mobil yang mereka tumpangi melaju."Menurut lo?" jawab Jingga sekenanya.
"Udah enggak, soalnya tadi kalian kelihatan akrab."
Jingga menaikan alisnya sebelah, lantas menyahut tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan ibukota di depannya yang terlihat sedikit lenggang karena waktu hampir menunjukan pukul sembilah malam. "Kapan? Nggak pernah gue akrab sama dia."
"Tapi tadi---".
"Udah ya Meg, waktu kita malam ini cuma sebentar. Jadi nggak usah bahas hal yang nggak penting, terutama Pelangi."
Mega mengatupkan bibirnya rapat. Suara Jingga terdengar lelah, begitu juga dengan raut wajah cowok itu. Sudah beruntung Jingga mau meluangkan waktu untuk menghilangkan kesedihannya, tapi ia justru merusak mood Jingga dengan membicarakan orang yang dibenci cowok itu dan mungkin juga dirinya. Seketika ia merasa bersalah dan menundukan kepalanya seraya menggumamkan kata maaf.
Jingga menghentikan mobilnya pelan. Ia menghela napas berat sebelum melepaskan seatbelt yang melingkari tubuhnya dan menyamping menghadap Mega. "Hey, lo nggak perlu minta maaf. Lo nggak salah, guenya aja yang kebawa emosi dan nambah kesedihan lo, padahal gue ngajak pergi biar lo nggak sedih lagi," ujar Jingga seraya mengangkat kepala Mega agar bisa menatap matanya.
"Tapi gue yang buat lo emosi."
"Enggak, udah yuk turun."
Mendengar ajakan Jingga, Mega sontak melihat ke jendela mobil. Ia baru sadar kalau sudah sampai dan segera turun ketika Jingga membukakan pintu untuknya, hal yang tidak pernah Jingga lakukan sebelumnya.
"Makasih," ujarnya tanpa bisa menyembunyikan seulas senyum.
"Your welcome." Jingga menyahut seraya menggandeng tangan Mega, masuk ke area pasar malam yang masih ramai meski telah larut.
"Jadi sekarang kita naik wahana apa dulu?"
Mega mengedikkan bahu, "terserah, kan lo yang naik,"
"Masa gue sendiri, kayak jones dong," protes Jingga menatap tak terima ke arah Mega yang langsung tergelak melihat sikap kekanakan sahabatnya itu.
"Gue kalo ke pasar malam paling naiknya cuma komedi putar, dan itu udah dulu banget waktu gue masih kecil . Lagian lo emang jones ya, jadi nggak usah sok nelangsa," cibir Mega seraya mengusap gemas wajah Jingga yang menampilkan mimik 'nggak banget'.
"Yaudah, kalo gitu kita naik komedi putar yang lo udah pernah dulu aja, wahana lain bisalah kita coba akhiran. Yuk!" ajak Jingga terlihat begitu semangat dan langsung menarik Mega untuk membeli karcis.
Mega menahan tangan Jingga yang akan menaiki komedi putar setelah memberikan karcis mereka. "Malu ah, Ga. Ini untuk anak kecil."
"Kata siapa? Tuh lihat, ada pasangan emak-bapak." ujar Jingga seraya menunjuk ke arah pasangan suami-istri yang sudah tak lagi belia dengan dagunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semburat Jingga
Teen FictionBagi Jingga, Mega adalah kanfas putihnya. Tempat ternyamanya melukiskan senyum juga berbagi kehangatan melalui semburat fajar maupun senja. Namun, tidak dengan Mega yang menganggap Jingga hanyalah teman yang setia bersamanya menyusuri lorong panjan...